DENPASAR – Dunianewsbali.com, Subak Jatiluwih, ikon pariwisata budaya Bali yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, kini terancam. Sebanyak 13 titik pelanggaran tata ruang di kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, hingga kini belum mendapat penindakan tegas dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan.
Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) Pemkab Tabanan, yang baru dibentuk pada Maret 2025, menemukan bangunan akomodasi pariwisata yang melanggar Perda Nomor 3 Tahun 2023 di kawasan tersebut. Temuan ini memicu sorotan publik, terlebih Desa Jatiluwih baru saja dinobatkan sebagai Salah Satu Desa Terbaik Dunia 2024 oleh United Nations Tourism berkat komitmen pada pariwisata berkelanjutan, pelestarian budaya, dan pengelolaan lingkungan.
Berbagai pihak angkat bicara. Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Bentara Budaya Bali, Jro Gde Sudibya, menyebut persoalan Jatiluwih sebagai “puncak gunung es krisis kebudayaan Bali.” Ia menilai degradasi lingkungan, kepemimpinan tanpa teladan, serta dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek telah menggerus harmoni budaya dan alam.
“Fenomena kemunafikan terjadi: ingin damai dengan alam, tapi alam disiksa. Tanpa koreksi kultural dan kepemimpinan berdedikasi, Jatiluwih hanya akan tinggal nama dan nostalgia,” ujar Sudibya di Denpasar, Sabtu (19/7/2025).
Sorotan serupa datang dari Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, Rektor Universitas Dhyana Pura. Ia menegaskan, Jatiluwih bukan hanya bentangan sawah indah, tetapi jantung peradaban agraris Bali melalui sistem subak. Jika kerusakan dan alih fungsi lahan dibiarkan, status UNESCO bisa dicabut, seperti kasus Liverpool Maritime Mercantile City di Inggris atau Dresden Elbe Valley di Jerman, yang kehilangan predikat akibat pembangunan merusak.
DPRD Tabanan melalui Komisi I dan II telah mendesak Pemkab Tabanan menetapkan batas waktu penindakan dalam rapat kerja pada 14 Juli 2025. Ketua Komisi I DPRD Tabanan, I Gusti Nyoman Omardani, menegaskan, “Tanpa tenggat waktu yang jelas, penanganan berisiko berlarut-larut dan status UNESCO benar-benar terancam hilang.”
Selain pelanggaran tata ruang, ancaman lain datang dari turunnya minat generasi muda bertani, naiknya biaya pertanian, dan perebutan sumber daya air dengan sektor industri dan pariwisata. Jika dibiarkan, bukan hanya predikat UNESCO yang hilang, tetapi juga tatanan sosial-ekologis Bali yang berabad-abad terjaga.
Solusi dan Jalan Tengah
Pakar budaya dan pariwisata sepakat, penyelamatan Jatiluwih membutuhkan langkah kolaboratif:
1. Penegakan hukum tegas dengan batas waktu, termasuk pembongkaran bangunan ilegal di kawasan lindung.
2. Penguatan subak melalui insentif, promosi agroekowisata, pelatihan generasi muda, serta perlindungan harga panen
3. Pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat adat, pengelola, LSM, dan pelaku usaha.
4. Pembatasan pengembangan kawasan inti serta promosi wisata berbasis edukasi dan pelestarian.
5. Penerapan Heritage Impact Assessment (HIA) dan audit rutin bersama UNESCO.
6. Edukasi wisatawan dan pelaku pariwisata tentang peran subak.
7. Digitalisasi pengawasan dan promosi wisata ramah lingkungan.
Status Warisan Dunia bukan hanya simbol prestise, tetapi juga aset ekonomi, identitas budaya, dan daya tarik Bali di mata dunia. Kehilangannya bukan sekadar penurunan kunjungan wisata, tetapi juga hilangnya martabat dan warisan leluhur.
“Menjaga status ini berarti menjaga martabat dan masa depan Bali. Kini saatnya bertindak bersama, memulihkan harmoni, dan memastikan Subak Jatiluwih tetap hidup untuk generasi mendatang,” pungkas Jro Gde Sudibya.(Red/Ich)