Oleh: Prof. Dr. Sukawati Lanang Putra Prabawa, S.H. Dekan Fakultas Hukum Universitas Saraswati
DENPASAR – Dalam sistem hukum Indonesia, amnesti dan abolisi merupakan bentuk pengampunan yang secara konstitusional hanya dapat diberikan oleh Presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dengan syarat Presiden wajib memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman pidana yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah dijatuhi putusan bersalah. Amnesti dapat diberikan tanpa permohonan dari pihak yang bersangkutan dan umumnya berlaku untuk kasus-kasus pidana tertentu, khususnya yang menyangkut kepentingan umum atau politik.
Sementara itu, abolisi adalah tindakan penghentian proses hukum terhadap seseorang sebelum perkara tersebut diputus oleh pengadilan atau sebelum terdapat putusan hukum yang berkekuatan tetap. Abolisi bersifat personal dan umumnya diberikan atas pertimbangan khusus Presiden, dengan tujuan menghentikan penuntutan atas perkara yang masih berjalan.
Kedua bentuk pengampunan ini juga diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, yang menegaskan bahwa Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi demi kepentingan negara. Dalam ketentuan tersebut, dijelaskan bahwa amnesti menghapus semua akibat hukum pidana yang telah terjadi, sedangkan abolisi mencegah proses hukum agar tidak dilanjutkan.
Secara garis besar, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada status hukum penerimanya. Amnesti diberikan kepada mereka yang sudah dijatuhi hukuman, sedangkan abolisi diberikan kepada mereka yang masih berada dalam proses hukum. Amnesti bersifat lebih luas dan bisa mencakup kelompok, sedangkan abolisi biasanya bersifat individual dan spesifik.
Artinya, baik amnesti maupun abolisi sama-sama membebaskan seseorang dari proses atau sanksi pidana.
Dalam sejarah kepemimpinan Indonesia, hampir semua Presiden dari Soekarno hingga Joko Widodo pernah menerapkan kebijakan amnesti dan abolisi, umumnya berkaitan dengan kasus pemberontakan atau isu-isu politik. Pada era Presiden Soekarno, kebijakan ini digunakan dalam kasus pemberontakan DI/TII serta PRRI/Permesta. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan pembebasan kepada Budiman Sudjatmiko dan sejumlah aktivis lainnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan kebijakan untuk pembebasan para anggota GAM, sedangkan Presiden Joko Widodo pernah memberikan amnesti terkait pelanggaran UU ITE dan terhadap para penggiat media sosial.
Dalam sejarah Romawi, abolisi juga kerap digunakan sebagai strategi politik atau untuk menghindari ketidakstabilan sosial. Salah satu amnesti terkenal adalah yang diberikan Julius Caesar pasca perang saudara, di mana ia memaafkan musuh-musuhnya demi memulihkan persatuan negara. Abolisi pun digunakan dalam kasus-kasus yang menimbulkan keraguan terhadap keadilan proses hukum, atau saat pertimbangan politik menuntut penghentian kasus.
Dengan demikian, amnesti dan abolisi merupakan instrumen negara dalam mencapai tujuan-tujuan politik dan sosial, seperti rekonsiliasi, stabilitas, serta keadilan.
Namun demikian, kebijakan ini juga kerap menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat mengenai dasar pertimbangannya, keadilan substantifnya, kepastian hukum, serta kemanfaatannya bagi masyarakat dan negara. Tak dapat disangkal, hubungan antara hukum dan politik, atau politik dan hukum, adalah realitas yang tak bisa dipisahkan dalam praktik kenegaraan.
Sebagai penutup, saya menyampaikan selamat kepada Mas Hasto Kristiyanto dan Bapak Tom Lembong atas diterimanya abolisi dan amnesti dari Presiden. Semoga langkah ini dapat membuka jalan bagi penyelesaian hukum yang adil, proporsional, dan tetap menjaga marwah konstitusi.(*)