Oleh Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum. Akademisi Universitas Dwijendra
DENPASAR – Bali dikenal sebagai pulau dengan nilai-nilai kearifan lokal yang luhur dengan ajaran Tri Hita Karana yang mengajarkan pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
Demikian pula falsafah Tat Twam Asi menekankan pada kesadaran bahwa diri kita adalah bagian dari orang lain.
Penderitaan orang lain sejatinya juga merupakan penderitaan kita. Nilai-nilai inilah yang selama berabad-abad menjadi fondasi sosial budaya masyarakat Bali, membentuk solidaritas, gotong royong, serta rasa welas asih dalam menghadapi berbagai peristiwa, termasuk bencana.
Namun, realitas sosial di era digital justru menunjukkan fenomena yang kontras.
Ketika bencana banjir melanda Bali, respon masyarakat tidak lagi semata berupa empati dan dukungan.
Di ruang-ruang digital, terutama media sosial sering kali muncul komentar bernada hujatan, cibiran, hingga ujaran kebencian.
Alih-alih memperkuat solidaritas, bencana justru menjadi momentum untuk menyalahkan, mengejek, bahkan beberapa tokoh terkesan mencari panggung.
Fenomena ini mencerminkan adanya pergeseran pola komunikasi dan sikap sosial masyarakat Bali.
Jika pada masa lalu bencana dijadikan ajang memperkuat (kebersamaan), kini arus digital membuat opini publik cepat terpolarisasi.
Korban bencana kadang dituding tidak waspada, pemerintah dianggap lalai, bahkan ada yang mengaitkan bencana dengan karma buruk.
Akibatnya, ruang simpati yang seharusnya hadir justru tergantikan oleh ruang hujatan yang menambah luka psikologis para korban.
Kehadiran hujatan di tengah bencana ini dapat dibaca sebagai cermin retaknya solidaritas sosial.
Nilai-nilai luhur seperti paras-paros sarpanaya (saling asah, asih, asuh) mulai terkikis oleh budaya instan, emosional, dan permisif di media sosial.
Alih-alih menghadirkan dukungan moral dan empati, media digital justru kerap memperlihatkan sisi gelap manusia yakni mudah menghakimi, sulit mengerti, dan abai terhadap rasa kemanusiaan.
Dengan demikian, bencana di Bali tidak hanya menguji daya tahan fisik masyarakat terhadap alam, tetapi juga menguji ketangguhan moral dalam menjaga persaudaraan dan solidaritas.
Jika hujatan terus mendominasi, maka kita bukan hanya berhadapan dengan bencana ekologis, tetapi juga bencana sosial yang menggerus nilai-nilai budaya dan kemanusiaan.