Beranda Berita Akses Jalan Pura Ditutup, Made Wijaya: Investor Wajib Junjung Hukum dan Adat...

Akses Jalan Pura Ditutup, Made Wijaya: Investor Wajib Junjung Hukum dan Adat Bali

0
Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Badung, Made Wijaya

BADUNG – Dunianewsbali.com, Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Badung, Made Wijaya, angkat bicara terkait berlarut-larutnya konflik antara Desa Adat Jimbaran dan investor PT Jimbaran Hijau (JH). Persoalan ini mencuat kembali setelah akses menuju Pura Belong Batu Nunggul ditutup pihak perusahaan, sementara masyarakat adat menuntut hak untuk membuka kembali jalan menuju tempat suci tersebut.

Menurut Made Wijaya, PT Jimbaran Hijau sejatinya memegang hak sewa pemerintah atas lahan hutan negara. Dengan demikian, kata dia, pemerintah memiliki peranan penting dalam memastikan bahwa investasi di atas tanah negara harus tunduk pada aturan daerah, hukum adat, dan nilai budaya setempat.

“Investor di mana pun berada, wajib menghormati aturan yang berlaku, terlebih di Bali. Apalagi ini menyangkut tempat suci. Secara etika dan moral, mereka harus menunjukkan kebijakan dan menghormati tradisi di tanah tempat mereka berinvestasi,” tegasnya.

Ia menilai, tak semestinya perdebatan hukum dijadikan tameng untuk mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Seorang investor, lanjutnya, seharusnya memahami konteks sosial dan spiritual di wilayahnya berinvestasi, bukan sekadar menonjolkan aspek legal formal.

“Kalau saya sebagai investor, tentu tidak akan memaksakan ego sektoral seperti itu. Kita hidup di Bali, dan di sini ada aturan adat yang harus dijunjung,” sindirnya.

Made Wijaya juga menyoroti peran para kuasa hukum yang, menurutnya, kerap terjebak dalam tafsir hukum sempit tanpa memahami konteks adat dan sosial masyarakat. Ia mencontohkan, pembangunan pura yang dibiayai melalui hibah dari Pemerintah Provinsi Bali justru dihadang dengan alasan hukum formal.

“Itu seolah-olah tidak paham di mana kita berpijak. Kalau caranya seperti itu, bagaimana mungkin investasi bisa diterima masyarakat?” ujarnya.

Sebagai Bendesa Adat, Made Wijaya mengingatkan bahwa masyarakat adat memiliki kekuatan sosial besar yang dapat memengaruhi iklim investasi. Namun, ia tetap menegaskan pentingnya dialog dan mediasi agar persoalan tidak berlarut.

Baca juga:  Sigap Tangkap DPO Penyu, Kasat Reskrim Polres Jembrana Terima Piagam Penghargaan

“Bendesa memiliki ribuan krama. Kalau masyarakat digerakkan, apakah investasi bisa berjalan kondusif? Tapi kami masih bisa diajak bicara secara baik-baik,” ungkapnya.

Persoalan antara Desa Adat Jimbaran dan PT Jimbaran Hijau telah berlangsung lebih dari tiga dekade. Berdasarkan Resume Permasalahan Keberadaan PT Jimbaran Hijau tertanggal 29 Juli 2025, konflik ini bermula sejak alih izin lokasi dan HGB pada 1990-an.

Awalnya, lahan tersebut dikelola warga Jimbaran secara turun-temurun sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Namun, pada 1994, lahan itu dilepaskan melalui surat pernyataan “tidak keberatan” yang ditandatangani sejumlah pejabat kelurahan dan petajuh adat, tanpa melibatkan para penggarap.

Lahan kemudian berpindah tangan dari PT Bali Paradise Resort ke PT Citratama Selaras (CTS), dan akhirnya ke PT Jimbaran Hijau (JH) pada tahun 2009. Warga menganggap proses pelepasan hak tersebut tidak transparan dan tanpa musyawarah, yang berujung pada hilangnya lahan garapan dan mata pencaharian sebagian warga.

“Tanah itu sumber hidup kami. Tapi ketika investor datang, kami hanya jadi penonton di rumah sendiri,” ungkap perwakilan Tim Advokasi Masyarakat Adat Jimbaran.

Proyek yang awalnya digadang sebagai Bali International Park (BIP) dan lokasi KTT APEC 2013 tak pernah terealisasi. Kini, area seluas ratusan hektare tersebut sebagian besar masih kosong dan dijaga ketat oleh pihak keamanan perusahaan.

HGB PT Jimbaran Hijau diketahui berakhir pada 2019, dan masyarakat berharap Kementerian ATR/BPN tidak memperpanjang izin tersebut, melainkan mengembalikannya kepada negara untuk kemudian diberikan prioritas pengelolaan kepada masyarakat adat Jimbaran.

“Sesuai aturan, tanah negara yang telantar lebih dari tiga tahun bisa ditarik kembali untuk didistribusikan kepada pihak yang berhak,” ujar Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra.

Baca juga:  Dijuluki "Gubernur Konten", Dedi Mulyadi Balas Sindiran dengan Efisiensi Anggaran

Menurutnya, sekitar 300 Kepala Keluarga kini hidup tanpa akses terhadap lahan produktif. Ironisnya, mereka tinggal berdampingan dengan kawasan wisata mewah, namun harus menghadapi kesulitan ekonomi.

Kemarahan masyarakat memuncak pada Juni 2025, ketika 46 Kepala Keluarga Pengempon Pura Belong Batu Nunggul hendak memulai pembangunan pura dengan dana hibah Rp500 juta dari Pemprov Bali. Namun, akses menuju pura justru ditutup tembok oleh pihak PT Jimbaran Hijau.

“BUKAN JALAN UMUM – DILARANG MASUK. PELANGGAR DIANCAM PIDANA PENJARA MAKSIMAL 7 TAHUN (PASAL 167, 385, 170 KUHP).”

Peristiwa itu menjadi simbol benturan antara nilai adat dan legalitas korporasi.

“Penutupan jalan itu bukan hanya menghambat perbaikan pura, tapi juga melukai rasa keadilan masyarakat adat. Pura adalah jiwa bagi umat di Bali,” tegas Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra.

Made Wijaya menutup pernyataannya dengan menyerukan agar masyarakat Desa Adat Jimbaran tetap solid dan kompak memperjuangkan hak-hak adat, serta meminta investor untuk menghormati Bali dari sisi agama, adat, dan budaya.

“Saya harap masyarakat tidak terpecah. Ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal kehormatan adat Bali,” tandasnya. (Red/ich)