Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M. Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar
DENPASAR – Dunianewsbali.com, Deflasi adalah kebalikan dari inflasi, yaitu kondisi di mana harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Meskipun sekilas tampak menguntungkan bagi konsumen karena daya beli meningkat, deflasi sebenarnya dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian secara keseluruhan. Menurut Mishkin (2019), deflasi sering dikaitkan dengan kontraksi ekonomi yang menyebabkan stagnasi pertumbuhan, peningkatan pengangguran, dan krisis keuangan berkepanjangan.
Salah satu penyebab utama deflasi adalah melemahnya permintaan agregat. Ketika masyarakat menahan pengeluaran karena mengantisipasi harga yang terus menurun, permintaan terhadap barang dan jasa berkurang. Akibatnya, produsen kehilangan insentif untuk berinvestasi dan memperluas produksi. Keadaan ini dapat menciptakan lingkaran setan, di mana penurunan harga menyebabkan berkurangnya pendapatan perusahaan, yang kemudian mendorong pemutusan hubungan kerja (Krugman, 2000).
Jepang merupakan contoh nyata dari fenomena ini. Negara tersebut mengalami deflasi berkepanjangan sejak awal 1990-an, yang dikenal sebagai “The Lost Decade.” Selama periode ini, harga-harga terus menurun, menyebabkan stagnasi ekonomi dan ketidakmampuan sektor swasta untuk tumbuh secara signifikan.
Selain itu, deflasi juga memperburuk beban utang riil bagi individu maupun perusahaan. Dalam kondisi harga yang menurun, nilai uang meningkat, yang berarti utang yang sebelumnya ditanggung oleh rumah tangga dan bisnis menjadi lebih sulit untuk dibayarkan. Menurut Bernanke (2002), hal ini dapat memicu gelombang kebangkrutan yang semakin memperdalam resesi. Krisis keuangan global 2008 menunjukkan dampak serupa, di mana penurunan harga aset menyebabkan peningkatan rasio utang terhadap ekuitas, memaksa banyak perusahaan dan rumah tangga menunda investasi serta konsumsi.
Lebih jauh, deflasi juga berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Bank sentral biasanya menanggapi perlambatan ekonomi dengan menurunkan suku bunga guna merangsang pinjaman dan investasi. Namun, jika deflasi telah terjadi, penurunan suku bunga mungkin tidak lagi efektif karena suku bunga nominal tidak dapat turun di bawah nol (zero lower bound). Fenomena ini dikenal sebagai perangkap likuiditas, di mana kebijakan moneter kehilangan efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi (Keynes, 1936). Dalam kondisi ini, bank sentral harus mengambil langkah-langkah tidak konvensional seperti quantitative easing, yang dalam beberapa kasus tidak memberikan hasil yang optimal.
Meskipun secara kasatmata deflasi tampak menguntungkan bagi konsumen, dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi bisa sangat merusak. Jika dibiarkan berlanjut, deflasi dapat menyebabkan perlambatan ekonomi yang sulit dipulihkan, seperti yang terjadi di Jepang dan selama Depresi Besar di Amerika Serikat. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang tepat diperlukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi dampak negatif deflasi. Pemerintah dan bank sentral harus sigap dalam menerapkan stimulus fiskal dan moneter guna menjaga stabilitas harga serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Semoga bermanfaat.(***)