Oleh: Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, S.E., M.M,
Guru Besar FEB Undiknas Denpasar
DENPASAR – Pemerintah Jepang tengah mempertimbangkan penghentian sementara penerimaan tenaga kerja (TK) asal Indonesia. Langkah ini dipicu oleh meningkatnya kasus kriminal yang melibatkan warga negara Indonesia di wilayah Jepang dalam beberapa waktu terakhir. Keputusan tersebut mengemuka setelah serangkaian insiden yang mencoreng reputasi pekerja migran Indonesia di mata publik dan otoritas setempat.
Salah satu kasus yang mendapat sorotan tajam adalah tindak pidana pencurian dan penipuan yang dilakukan oleh beberapa pekerja migran asal Indonesia. Lebih dari itu, media Jepang juga menyoroti keberadaan jaringan kriminal yang diduga melibatkan WNI dalam aksi pencurian terorganisir, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Padahal, selama ini tenaga kerja Indonesia dikenal sebagai pekerja yang ramah, disiplin, dan cepat beradaptasi.
Data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 122 ribu tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Jepang. Sebagian besar dari mereka masuk melalui skema Technical Intern Training Program (TITP) dan Specified Skilled Worker (SSW). Adapun sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja Indonesia mencakup perawatan lansia, manufaktur ringan, pertanian, dan perikanan. Di antara sektor-sektor tersebut, bidang keperawatan menjadi yang paling diminati karena Jepang menghadapi krisis tenaga kerja akibat populasi yang menua dan tingkat kelahiran yang rendah.
Reputasi tenaga kerja Indonesia di Jepang sebelumnya sangat baik. Mereka dikenal sebagai pekerja keras, jujur, dan cepat belajar. Tak sedikit perusahaan di Jepang memberikan penilaian positif terhadap kinerja mereka, bahkan membuka peluang perpanjangan kontrak maupun rekrutmen lanjutan. Namun belakangan, citra tersebut mulai tergerus akibat meningkatnya jumlah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh segelintir individu. Pelanggaran tersebut meliputi pelanggaran izin tinggal, praktik kerja ilegal, hingga tindak kriminal dari yang ringan sampai berat.
Situasi ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan dari pihak agensi perekrutan, kurangnya edukasi hukum dan etika kerja sebelum keberangkatan, serta minimnya perlindungan yang diberikan selama masa kerja di Jepang.
Menghadapi potensi boikot dari Jepang, pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis. Pertama, memperketat proses seleksi calon tenaga kerja dengan memastikan latar belakang dan integritas moral mereka. Kedua, memberikan pelatihan menyeluruh tentang budaya, etika kerja, serta sistem hukum di Jepang agar para pekerja benar-benar memahami konsekuensi dari setiap tindakan. Ketiga, memperkuat kerja sama bilateral dengan pemerintah Jepang, guna memastikan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh segelintir oknum tidak mencoreng nama baik mayoritas pekerja yang taat dan profesional.
Kepercayaan Jepang perlu segera dipulihkan melalui komitmen dan reformasi nyata dari Indonesia. Ini bukan sekadar menyelamatkan citra bangsa, tapi juga menyangkut nasib ribuan tenaga kerja Indonesia yang telah berkontribusi secara positif di negeri Sakura.