Denpasar – Saksi dalam kasus sewa-menyewa vila di Sanur dengan Tersangka I Made Richy Ardhana Yasa ( Ray) mencabut keterangannya. Selain itu, dalam persidangan juga tidak pernah mengatakan apa yang disebut tertera di dalam berita acara. Demikian dilontarkan Kuasa Hukum RAY (42), Eko Haridani Sembiring, SH didampingi Ahmad Hardi Firman, SH, MH, dan Yehezkiel Petrus Halomoan Paat, SH, saat konferensi pers di Denpasar, Kamis (23/11/2023).
“Ini merupakan suatu fakta dalam persidangan, dan hal ini sangat jarang terjadi dalam proses penegakan hukum kita. Sampai-sampai bisa mencabut keterangan yang dilakukan langsung oleh saksi saat pengadilan sedang berlangsung. Ini dipastikan onslag,” ungkap Eko usai menjalani persidangan kliennya RAY yang juga selaku pemilik vila yang berlokasi di Jalan Merta Sari No. 9A, Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.
Dalam literasi hukum, putusan onslag atau lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa jika majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Terkait kasus ini, Eko menuturkan awal mulanya bulan April 2019, RAY bersama istrinya DMM yang kini masih berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO). Kala itu menyewakan vila kepada Sri Lestari dengan perjanjian kedua belah pihak.
“Di balik perjanjian tersebut, memang ada terjadi proses lelang, namun klien kami tidak mengetahui sama kalau tanahnya ada proses leleng, makanya berani menyewakan tanahnya yang sudah menjadi bangunan vila,” terang Eko. Jadi persoalan yang dialami klien kami harusnya perjalanan kasusnya masuk dalam hukum perdata, namun justru malah dimasukan dalam hukum pidana,” sambungnya.
Kasus ini menurutnya adalah masalah perjanjian sewa-menyewa, yang mana kliennya memang belum sepenuhnya bisa memenuhi tanggung jawab dikarenakan ada proses lelang atas tanah tersebut, dan sudah dilakukan eksekusi oleh pengadilan.
“Bukan berarti kasus hukumnya masuk hukum pidana, melainkan harusnya kasus hukum tersebut masuk dalam kasus hukum perdata,” jelasnya.
Sebagai kuasa hukum dalam kasus ini Eko sangat meyakini dalam persidangan terbukti unsur penipuan yang dituduhkan itu sepenuhnya bisa dikatakan belum terbukti. Karena yang dituduhkan di sini, klien kami melakukan iming-iming yang menyatakan vila ini tidak bermasalah,” cetusnya.
Kalau saat itu juga saksi mengatakan sama sekali tidak pernah bertemu dengan kliennya. “Bagaimana bisa dalam berita acara kalau klien kami ini melakukan penipuan dengan modus yang mengatakan kalau klien menyuruh istrinya untuk menyewakan vila yang tidak dalam sengketa,” terangnya.
“Seolah-olah iming-iming itu terjadi. Keterangan itulah yang dicabut oleh saksi dalam persidangan di pengadilan, dan itu resmi dilakukan di hadapan Majelis Hakim,” singgungnya.
Eko Haridani Sembiring juga mengatakan
jika melihat kesimpulan dari perkara ini dari awal sampai sekarang yang sedang berjalan. Ini perkara perdata yang menurutnya dikriminalisasi. Sementara terkait konteks penyerahan uang yang dilakukan oleh saksi kepada istri kliennya, bila dilihat dari kaca mata, pastinya dirinya bisa melihatnya kalau kasus tersebut adalah kasus hukum perdata, bukan kasus hukum pidana.
“Karena saat menyerahkan uang dalam keadaan sadar. Di situ juga terjadi kesepakatan bersama, dan sudah dinyatakan beres dan transparan soal status tanah tersebut,” imbuhnya.
Dijelaskan, dengan melihat seluruh fakta dalam persidangan, kami sangat meyakini bahwa konteks penyerahan uang sewa-menyewa tersebut konteksnya perdata. “Karena di situ terjadi penyewa murni, sebab dibalik itu tidak ada sama sekali etikad buruk. Itu posisi kami dalam melihat perkara tersebut,” sentilnya.
Logikanya sangat sederhana, kalau semua di Bali ini yang dikarena perjanjian sewa-menyewa, dan kemudian tidak melakukan kewajibannya hingga langsung dipidanakan. “Terus bagaimana proses penyelesaian bisnisnya, dan ujung-ujungnya harus berada di balik jeruji besi (penjara)”, pungkas Eko.
Kuasa hukum RAY lainnya, Ahmad Hardi Firman menambahkan walaupun kliennya belum sepenuhnya menepati janji sesuai perjanjian awal dalam proses sewa-menyewa tersebut, namun bukan berarti kasusnya hukumnya langsung masuk kasus hukum pidana.
“Dan mekanisme yang ditempuh bukan mekanisme hukum perdata pak. Silakan melakukan gugatan melalui mekanisme hukum perdata. Di situ kan ada mekanisme yang terbuka. Apabila mau pengembalian, silakan melalui mekanisme hukum perdata. Ini kok aneh, dilarikannya ke pidana. Padahal kasusnya adalah murni perdata,” beber Ahmad Hardi.
Jadi menurutnya dalam kasus ini bukan berarti tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh oleh pelapor. “Ada mekanisme melalui gugatan keperdataan. Jadi hak-hak dia (pelapor) secara hukum itu diakomodir sama aturan hukum di Indonesia. Menurut kami ini adalah proses hukum perdata yang dipaksakan menjadi proses kriminal, pidana,” tandas Ahmad Hardi.
Untuk diketahui, dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, Ida Ayu Ketut Sulasmi dalam sidang di PN Denpasar, Selasa (21/11/2023) mengungkapkan bahwa pada April 2019, terdakwa RAY meminta istrinya untuk menawarkan sebuah vila dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 3184, luas 2064 M2, atas nama terdakwa. Proses ini melibatkan perekrutan Listiyo Budi untuk mencarikan penyewa melalui Marketplace Facebook.
Salah satu penyewa yang tertarik adalah Sri Lestari, yang bersama dengan I Nyoman Ari Sudana, pergi melihat vila tersebut. Sri Lestari, yang awalnya tertarik dengan vila tersebut, menemukan bahwa harga sewa yang diajukan terlalu tinggi. Setelah negosiasi, kesepakatan tercapai untuk menyewa vila selama lima tahun dengan harga Rp180 juta per tahun. Sri Lestari, yakin dengan tawaran tersebut, memberikan tanda jadi (Down Payment/DP) kepada istri terdakwa DMM sebesar Rp10 juta pada tanggal 26 April 2019.
Namun permasalahan kemudian mencuat ketika pada tanggal 30 April 2019, Sri Lestari menyampaikan Surat Perjanjian Sewa Rumah kepada terdakwa. Dalam perjanjian itu, terdapat klausul yang menyatakan bahwa rumah tidak memiliki masalah. Sisa pembayaran sebesar Rp845 juta kemudian ditransfer oleh Sri Lestari ke rekening terdakwa.
Namun, yang tidak diketahui oleh Sri Lestari, sertifikat vila tersebut telah dijadikan jaminan utang pada tanggal 4 Agustus 2014. Surat perjanjian utang ini mencapai nilai yang fantastis yakni Rp18.960.000.000, dan telah digunakan dalam lelang eksekusi pada tanggal 15 Maret 2019.
Vila yang disewa oleh Sri Lestari akhirnya dieksekusi, pengosongannya pada tanggal 3 September 2019 oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Sri Lestari mengaku mengalami kerugian finansial sebesar Rp900 juta akibat perbuatan terdakwa.
JPU Sulasmi menyebutkan RAY terancam hukuman empat tahun penjara dari Pasal 372 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP yang disangkakan kepadanya. (Tim)