DENPASAR – Dua pengusaha transportasi asal Bali, Heryanto dan I Putu Erik Pratama Putra, yang menjalankan bisnis usaha sewa mobil melalui CV. R&K Maha Jaya Trans, saat ini berada di tengah pusaran masalah besar yang menghancurkan bisnis, mental, dan kehidupan keluarga mereka.
Saat ini mereka terlibat sengketa kendaraan yang melibatkan seorang oknum polisi aktif, berinisial NS, yang berawal dari mitra kerja sama antara mereka untuk menambah 5 unit mobil baru, yakni 3 unit Toyota Raize, 1 Wuling Almaz dan 1 Toyota Innova, dengan cara skema kredit menggunakan identitas perusahaan.
“Saat itu NS menitip pengajuan kredit Toyota Innova melalui perusahaan kami, karena bisa dapat potongan yang lebih murah daripada pengajuan perorangan,” jelas Heryanto.
Tetapi kerjasama yang awalnya baik inilah yang akhirnya malah menyebabkan kerugian materiil yang sangat besar, ditambah ancaman dan intimidasi yang terus meneror mereka.
Kisah tragis ini berawal dari dipinjamnya lima unit mobil tersebut oleh NS dengan alasan untuk keperluan pribadi dan adat. Namun, hingga kini lebih dari dua tahun, mobil-mobil tersebut tidak kunjung dikembalikan ke pihaknya.
Bahkan, selama ini kendaraan-kendaraan itu diduga telah disewakan NS kepada pihak ketiga tanpa izin dari Erik dan Heryanto. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan kendali atas kendaraan mereka, tetapi juga harus menanggung beban finansial dari cicilan yang terus berjalan.
“Kami dikejar-kejar oleh debt collector setiap hari, dari pagi sampai sore. Mereka datang dari berbagai perusahaan leasing seperti ACC Finance, Mandiri Finance, dan My Bank Finance. Kami sudah menjelaskan bahwa mobil-mobil itu tidak ada di tangan kami, tapi mereka tidak menggubris dan kami tetap harus membayar cicilan yang sudah jatuh tempo,” ujar Erik dengan penuh kekecewaan.
Erik dan Heryanto mengaku, meski mobil-mobil tersebut sudah tidak mereka kuasai, mereka masih diharuskan melunasi pembayaran kredit. Bahkan, mereka harus membayar tambahan biaya fee penagihan setiap kali debt collector datang menagih ke kantor mereka.
“Seharusnya, hasil penyewaan mobil-mobil tersebut yang dapat kami gunakan untuk membayar tagihan cicilan kredit, tapi ini mobil tidak ada, kami tetap dibebankan harus membayar tagihan tiap bulannya,” ujarnya sedih.
Situasi ini membuat kondisi finansial CV K&R Maha Jaya Trans yang berlokasi di Jl Cargo, Ubung Kaja, Denpasar Utara, ini perlahan semakin terpuruk.
Masalah semakin pelik ketika NS, yang masih aktif sebagai anggota kepolisian, diduga membentuk perusahaan baru dengan menggunakan dokumen perusahaan CV. K&R Maha Jaya Trans tanpa sepengetahuan Erik dan Heryanto.
Diduga dengan memalsukan tanda tangan dan stempel perusahaan untuk mengambil alih operasi bisnis mereka, sehingga dampak dari tindakan tersebut, izin usaha CV K&R Maha Jaya Trans dibekukan, membuat mereka tidak bisa lagi melakukan kerja sama resmi dengan mitra-mitra bisnis.
“Kami benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin perusahaan kami bisa dibekukan, digantikan oleh perusahaan yang baru di buat ?
Kami tidak pernah menandatangani dokumen apapun untuk itu. Izin usaha kami dibekukan, rekening kami tidak bisa digunakan lagi,” keluh Heryanto dengan nada frustrasi.
Akibat dari pembekuan izin ini, CV. K&R Maha Jaya Trans tidak bisa beroperasi secara normal, dan banyak kerja sama bisnis yang telah dibangun terpaksa terhenti.
“Banyak rekanan bisnis yang menjauh dan takut bekerja sama dengan kami karena masalah ini. Mereka khawatir akan terlibat masalah hukum juga,” tambah Erik.
“Nasib kami ini ibarat pepatah sudah jatuh, ditimpa tangga. Niat awal mengembangkan usaha malah berujung petaka,” keluhnya.
Kerugian yang dialami Erik dan Heryanto tidak hanya bersifat material, namun juga mental. Secara finansial, mereka memperkirakan kerugian akibat sengketa ini sudah mencapai hampir satu miliar rupiah.
Mobil-mobil yang disewakan tanpa hak oleh NS bukan hanya tidak menghasilkan pendapatan bagi mereka, tetapi juga menyebabkan tekanan besar karena cicilan terus menumpuk.
“Kami sudah menjual banyak unit kendaraan lain untuk menutupi hutang dan kewajiban pembayaran leasing. Tapi kami benar-benar berada di titik terendah sekarang. Bisnis kami hancur, mental kami drop,” kata Erik, tidak mampu menyembunyikan keputusasaannya.
Tak hanya Erik, keluarganya pun ikut menjadi sasaran intimidasi. Istri dan anak-anaknya terus hidup dalam ketakutan, khawatir akan adanya pihak-pihak yang datang ke rumah mereka untuk melakukan kekerasan.
“Istri saya terus merasa terancam. Bahkan ada akun-akun media sosial yang mencoba menghubungi dia, membujuk agar saya mencabut laporan. Kami benar-benar hidup dalam ketakutan,” jelas Erik dengan suara bergetar.
Erik dan Heryanto telah melaporkan kasus ini ke Polresta Denpasar dengan nomor : LP/B/88/IV/2024/SPKT/POLRESTA DENPASAR/POLDA BALI dan juga ke Polda Bali.
Namun, mereka merasa proses hukum yang berjalan sangat lambat dan belum menunjukkan kemajuan signifikan. Bahkan, setelah dua kali mengirim somasi, pihak NS tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum.
Untuk memastikan ada langkah serius dari aparat penegak hukum, kuasa hukum Erik dan Heryanto, Nyoman Sugita Yasa, telah melaporkan masalah ini ke Polda Bali pada tanggal 15 Oktober 2024 lalu, yang ditembuskan juga ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Bali.
Koordinasi ini dilakukan untuk menyelidiki lebih lanjut dugaan keterlibatan NS dalam penguasaan kendaraan dan pembekuan perusahaan secara ilegal.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Propam Polda Bali untuk menyelidiki lebih dalam peran NS dalam kasus ini. Kami berharap ada kejelasan dan tindakan tegas terhadap oknum ini, agar keadilan bisa ditegakkan,” ujar Sugita Yasa.
Sugita juga mengungkapkan, hingga saat ini belum ada itikad baik dari pihak NS untuk merespons somasi atau panggilan hukum. Mereka terpaksa menempuh jalur hukum secara penuh, baik melalui pengadilan perdata maupun pidana.
Di balik semua kerugian materiil, ancaman fisik, dan intimidasi yang mereka hadapi, yang paling terasa bagi Erik dan Heryanto adalah hilangnya rasa aman. Mereka tidak lagi merasa aman menjalankan bisnis, bahkan sekadar menjalani kehidupan sehari-hari.
“Kami tidak berani keluar rumah sendirian. Setiap hari dibayangi rasa takut, apakah kami akan selamat atau tidak. Ini sudah terlalu jauh,” kata Heryanto dengan nada sedih.
Meskipun hidup dalam ketidakpastian, Erik dan Heryanto tetap berharap pihak kepolisian dan Propam bisa segera menuntaskan penyelidikan dan memberikan keadilan yang mereka cari.
“Kami hanya ingin keadilan. Kami ingin bisnis kami kembali, kehidupan kami kembali normal, tanpa intimidasi dan ancaman,” pungkas Erik.
Kasus ini bukan hanya tentang penguasaan mobil tanpa hak, tetapi juga menyangkut penyalahgunaan kekuasaan, intimidasi, dan ancaman terhadap dua pengusaha Bali yang tengah berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi hak mereka.(Tim)