
DENPASAR – Dunianewsbali.com, Secara tegas, Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru Provinsi Bali menolak penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam layanan BPJS Kesehatan.
KRIS Satu Ruang Perawatan yang direncanakan berlaku mulai 1 Juli 2025 itu dinilai tidak berpihak pada pekerja berpenghasilan rendah dan berpotensi mempersempit akses layanan kesehatan.
KRIS diterapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Kelas Rawat Inap pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL).
Menurutnya, regulasi ini menghapus sistem kelas 1, 2 dan 3 dalam BPJS, yang menggantinya dengan satu standar pelayanan berdasarkan 12 kriteria, mulai dari maksimal empat tempat tidur per ruang, pencahayaan dan ventilasi memadai hingga keberadaan toilet dalam kamar.
Demikan dikatakan Ketua FSP Kerah Biru Bali, Kadek Agus Herry Susanto, dalam siaran pers yang diterima media, Sabtu, 28 Juni 2025.
Selain itu, penerapan KRIS juga didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang tujuan utamanya untuk menjamin perlakuan yang sama bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan, terutama dalam hal pelayanan ruang rawat inap.
Kadek Agus menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan suara buruh, khususnya dari sektor informal dan peserta mandiri yang selama ini bergantung pada pilihan kelas yang lebih terjangkau.
“Penerapan KRIS ini terkesan dipaksakan tanpa partisipasi buruh. Alih-alih menciptakan keadilan, KRIS justru bisa menambah beban iuran dan menyulitkan akses pelayanan kesehatan bagi pekerja kecil,” kata Kadek Agus
Untuk itu, Kadek Agus menolak kebijakan KRIS Satu Ruang Perawatan, dikarenakan ketidaksiapan Fasilitas Kesehatan.
Mengingat, banyak rumah sakit belum memenuhi 12 kriteria KRIS, sehingga pelaksanaan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 dikhawatirkan tidak berjalan optimal dan hanya formalitas.
Selain itu, kebijakan itu diduga terjadi pelanggaran prinsip keadilan, karena sistem satu kelas dianggap tidak adil karena menghapus perbedaan kelas pelayanan. Padahal, keadilan seharusnya didasarkan pada jenjang distribusi, bukan keseragaman.
“Itu mengaburkan Prinsip Gotong Royong. KRIS Satu Kelas menghilangkan asas gotong royong dalam Jaminan Sosial Nasional, karena iuran akan disamaratakan tanpa memperhitungkan kemampuan peserta,” terangnya.
Tak hanya itu, pihaknya melihat minimnya ketersediaan tempat tidur yang disediakan rumah sakit. Dengan keterbatasan tempat tidur saat ini, pembatasan maksimal 4 pasien per ruang akan memperburuk pelayanan.
“Pemerintah seharusnya lebih dulu membangun infrastruktur dan memberi insentif kepada swasta untuk merenovasi ruangan sesuai standar,” urainya.
Ditambah lagi, hingga kini belum ada regulasi teknis dari Kementerian Kesehatan, yang menandakan pelaksanaan KRIS belum siap.
Patut diketahui, bahwa standarisasi KRIS terdiri dari 12 komponen standar ruang rawat inap, seperti:
1. Maksimal 4 tempat tidur per ruang,
2. Adanya kamar mandi dalam,
3. Ventilasi dan pencahayaan yang sesuai.
Menyikapi hal tersebut, Kadek Agus meragukan kesiapan rumah sakit di Bali dalam memenuhi seluruh kriteria KRIS.
Pasalnya, Rumah Sakit (RS) yang akan menerapkan KRIS totalnya berjumlah 3.060 dari 3.176 RS nasional.
“RS yang sudah siap per 30 April 2025 berjumlah 2.558 RS, dengan RS Pemerintah wajib menyediakan minimal 60 persen tempat tidur sesuai KRIS dan RS Swasta wajib menyediakan minimal 40 persen tempat tidur sesuai KRIS,” tambahnya.
Kehadiran KRIS dengan 12 kriteria sangatlah baik sebagai upaya meningkatkan pelayanan nonmedis bagi pasien JKN.
Namun, lanjut Kadek Agus, permasalahan yang muncul dengan rencana pelaksanaan KRIS yang dilakukan secara utuh mulai 1 Juli 2025 mengenai rencana Pemerintah menerapkan KRIS Satu ruang perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur.
“Jadi, tidak semua fasilitas kesehatan mampu beradaptasi dalam waktu singkat, sementara regulasi menargetkan implementasi penuh pada 30 Juni 2025,” urainya.
Sebagai tindak lanjut, Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru Bali akan bersurat resmi kepada BPJS Kesehatan Cabang Bali, Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan DPRD Bali untuk meminta penundaan penerapan KRIS hingga dilakukan kajian menyeluruh yang melibatkan perwakilan buruh.
“Fakta di lapangan menunjukkan banyak Rumah Sakit belum siap. Jangan sampai pekerja justru menerima layanan lebih terbatas, atau malah diarahkan ke rumah sakit swasta dengan biaya tinggi,” tegasnya.
Tak hanya itu, Kadek Agus juga tengah menjalin komunikasi dengan serikat pekerja lainnya untuk menolak KRIS secara nasional. Pelayanan kesehatan adalah hak rakyat, bukan layanan yang bisa diseragamkan tanpa memperhatikan keadilan sosial.
Direncanakan, tahapan penerapan KRIS diberlakukan hingga 30 Juni 2025, yaitu Sistem kelas 1, 2, dan 3 masih berlaku.
Sementara itu, evaluasi menyeluruh akan menentukan tarif, iuran dan manfaat baru KRIS dimulai sejak 1 Juli 2025.
“Selama masa transisi, RS menyesuaikan sarana prasarana agar memenuhi 12 kriteria KRIS,” pungkasnya. (red/tim).