Beranda Berita Mahakarya GWK yang Tak Terbendung: Jejak Sejarah Panjang dari Patung Raksasa Hingga...

Mahakarya GWK yang Tak Terbendung: Jejak Sejarah Panjang dari Patung Raksasa Hingga Solusi Konflik Akses Warga

0

Denpasar – Garuda Wisnu Kencana (GWK) bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah monumen perjuangan, simbol semangat nasionalisme, dan bukti komitmen panjang yang melampaui hitungan bisnis biasa. Kisah di balik berdirinya patung raksasa ini adalah cerita tentang dedikasi yang tak kenal lelah.

Sang Nyoman Suwisma, Komisaris Utama GWK yang juga praktisi media berpengalaman, membuka lembaran sejarah. “GWK lahir dari gagasan mantan Gubernur Bali dan mendapat restu dari pucuk pimpinan nasional saat itu,” kenang Suwisma.

Awalnya, hanya patung setinggi 5 meter yang direncanakan. Namun, seniman maestro Nyoman Nuarta punya visi lebih besar. “Daripada 5 meter, mengapa tidak sekalian membuat yang besar?” ujar Nuarta kala itu. Gagasan itu pun disambut.

Namun, jalan tak selalu mulus. Krisis moneter 1998 menghentikan proyek ambisius ini. Nuarta berkeliling mencari dukungan, tapi tak ada yang berani melanjutkan.

Di titik nadir inilah, sosok The Ning King (Harjanto Tirtohadiguno), pemilik Alam Sutera, muncul. Saat itu The Ning King menyatakan komitmennya. “Saya akan membangunnya sampai selesai,” tegas The Ning King kala itu.

Komitmen itu bukan main-main. Lebih dari 3 triliun rupiah dikucurkan hanya untuk membeli dan membangun GWK. Sebuah angka fantastis untuk proyek yang diyakini banyak kalangan tak akan menguntungkan.

“Return of Investment tidak ada dalam benak beliau. Ini murni semangat nasionalisme,” ungkap Suwisma dengan nada haru.

Terkait konflik akses jalan yang viral saat ini, bermula saat penyelenggaraan KTT G20 tahun 2022. “Yang menutup akses itu adalah panitia G20, bukan GWK. Bahkan yang menutup itu adalah orang tua dari tokoh masyarakat setempat,” jelas Suwisma.

Saat itu, katanya, panitia G20 melakukan koordinasi intensif dengan warga. “Setelah diberikan pemahaman tentang pentingnya keamanan internasional, mereka pun memahami dan bersedia bekerja sama.”

Baca juga:  Perjuangan Sang Ayah Untuk Menemukan Putri Tercinta, Berharap Bisa Merayakan Natal Bersama

Namun, pasca-G20, isu ini mengemuka kembali dan menjadi viral. “Kami menerima informasi ada sekitar 15 warga yang terdampak, bukan 600 KK seperti yang beredar. Yang mencoba memperkeruh situasi ini jelas ada pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya sendiri.”

Menanggapi situasi ini, manajemen GWK mengambil inisiatif diplomasi. “Kami menyambut baik langkah cepat Gubernur Wayan Koster dan Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa. Atas permintaan resmi pemerintah daerah, kami bersedia meminjamkan akses jalan milik GWK untuk kepentingan masyarakat.”

Suwisma menegaskan, keputusan ini murni berdasarkan permintaan pemerintah, bukan karena tekanan pihak manapun. “Semua akses yang sebelumnya menjadi perhatian masyarakat, kini telah dibuka berdasarkan kesepakatan tertulis pinjam pakai lahan antara GWK dengan pemerintah daerah.”

Prosesnya jelas berpegang pada prinsip hukum. “Pemerintah yang memohon izin, GWK yang memberikan akses. Mekanisme ini kami junjung tinggi untuk menciptakan keharmonisan sosial.”

Perjalanan GWK dari konsep hingga kontroversi dan penyelesaiannya mencerminkan kompleksitas sebuah mahakarya bangsa. Di balik megahnya patung, tersimpan pelajaran berharga tentang seni berdiplomasi, mendengarkan aspirasi, dan yang terpenting, menjaga warisan budaya.

“GWK adalah bukti bahwa semangat nasionalisme mampu mengatasi segala rintangan, termasuk kontroversi sekalipun. Kini, dengan dibukanya akses jalan, GWK benar-benar hadir untuk semua,” tutup Suwisma, mewakili semangat yang tak pernah padam sejak ide pertama GWK tercetus puluhan tahun silam. (Brv)