Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM. Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar
Setiap tahun di Pulau Bali, khususnya Bali Selatan, kehilangan lahan subur yang terus beralih fungsi menjadi bangunan beton. Fenomena ini terjadi akibat meningkatnya permintaan properti dan perkembangan pariwisata yang pesat.
Banyak pemilik lahan lebih memilih menjual tanah mereka daripada mempertahankan sawah atau kebun. Lalu, siapa yang patut disalahkan? Apakah regulasi yang belum cukup rinci atau masyarakat yang tergoda oleh keuntungan instan dari hasil penjualan tanah? Alih fungsi lahan ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan tetapi juga mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
Pemilik lahan sering kali tergoda oleh jumlah uang yang besar, terutama di tengah sulitnya mencari pekerjaan. Jika uang dari hasil penjualan tanah tidak dikelola dengan baik, maka dampaknya akan berbahaya dalam jangka panjang.
Banyak kasus menunjukkan bahwa pemilik tanah yang menjual asetnya akhirnya kehilangan sumber pendapatan dan mengalami kesulitan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami dampak jangka panjang dari keputusan menjual tanah mereka.
Jika uang yang diperoleh dapat diinvestasikan secara produktif, seperti dalam usaha atau disimpan di lembaga keuangan yang terpercaya, maka dampak negatifnya bisa dikurangi. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang hanya menikmati hasil penjualan tanah tanpa perencanaan keuangan yang matang.
Pemerintah daerah tidak bisa serta-merta melarang masyarakat untuk menjual sawah atau kebunnya jika tidak ada aturan yang melarangnya. Regulasi yang lebih ketat dalam tata ruang harus diterapkan untuk memastikan bahwa lahan pertanian tidak mudah berubah fungsi menjadi area komersial. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memperketat perizinan alih fungsi lahan dan memberikan insentif bagi pemilik lahan yang tetap mempertahankan tanahnya.
Selain itu, sosialisasi mengenai pentingnya lahan produktif harus diperkuat agar masyarakat memahami nilai jangka panjang dari mempertahankan lahan mereka. Pemerintah juga bisa memberikan subsidi atau bantuan bagi petani agar mereka tetap bisa bertahan dan tidak tergoda untuk menjual tanahnya.
Selain itu, pelatihan keterampilan dan peluang ekonomi alternatif juga perlu dikembangkan agar masyarakat memiliki opsi lain dalam mencari penghidupan. Mengoptimalkan sektor pertanian dengan teknologi modern bisa menjadi solusi lain untuk meningkatkan produktivitas tanpa harus memperluas lahan pertanian. Dengan demikian, masyarakat bisa tetap mendapatkan hasil yang baik dari tanah yang mereka miliki tanpa harus menjualnya.
Pemerintah harus tegas dalam menindak pelanggaran aturan tata ruang dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan secara ilegal. Pengawasan ketat terhadap pembangunan juga harus dilakukan agar tidak terjadi eksploitasi lahan yang merugikan masyarakat lokal.
Jika semua pihak dapat bekerja sama dalam menjaga keberlanjutan lahan produktif, maka ancaman alih fungsi lahan dapat dikendalikan. Tanpa regulasi yang jelas dan kesadaran kolektif, maka hilangnya lahan subur di Bali akan terus berlanjut tanpa ada solusi nyata. Oleh karena itu, keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam harus tetap dijaga agar Bali tetap menjadi pulau yang harmonis antara modernitas dan tradisi. (***)