Beranda Berita Menyuarakan Nurani Bukan Kejahatan, Koalisi Bali Tuding Polisi Langgar HAM

Menyuarakan Nurani Bukan Kejahatan, Koalisi Bali Tuding Polisi Langgar HAM

0

DENPASAR – Dunianewsbali.com, Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mengecam keras tindakan aparat kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi 30 Agustus 2025 di Denpasar. Mereka menilai tindakan represif dan kriminalisasi terhadap peserta aksi merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM) sekaligus bukti penyempitan ruang demokrasi di Indonesia.

Menurut Koalisi, aksi solidaritas tersebut merupakan bentuk ekspresi sah masyarakat atas kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tak berpihak pada rakyat. Dalam aksi itu, massa menyuarakan tuntutan reformasi kepolisian, menolak praktik kekerasan aparat, serta menuntut keadilan atas kematian Affan, seorang pengemudi ojek online yang disebut menjadi korban kekerasan polisi.

Namun, bukannya mendapat perlindungan, peserta aksi justru menjadi korban kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang. Koalisi mencatat adanya penggunaan gas air mata dan peluru karet secara berlebihan, penyisiran tanpa surat perintah, penyitaan barang pribadi warga, hingga penangkapan terhadap lebih dari 170 orang tanpa dasar hukum yang jelas.

Selain itu, Koalisi menyoroti intimidasi terhadap jurnalis, serta pembatasan akses bantuan hukum bagi peserta aksi yang ditahan di Polda Bali. Sejumlah advokat yang tergabung dalam Koalisi bahkan diusir secara kasar oleh penyidik saat hendak mendampingi para tahanan.

Tindakan ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Peraturan Kapolri yang mengatur penggunaan kekuatan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Orang Tua Massa Aksi: “Anak Kami Bukan Kriminal”

Dalam kesempatan yang sama, hadir pula beberapa anggota Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi, antara lain Ignatius Rhadite, Michael Angelo, Juan, Aryantha, dan Nurdin.

Mereka juga menghadirkan sejumlah orang tua peserta aksi, salah satunya Wasis, yang anaknya termasuk dalam daftar tersangka.

Baca juga:  Antisipasi Kejahatan Dunia Maya, PHRI Gianyar Gelar Agenda Cyber Security Awareness

Dengan nada penuh kecewa, Wasis mengungkapkan kekecewaannya terhadap aparat penegak hukum.

“Saya sangat kecewa terhadap Polda Bali yang seharusnya menjadi pengayom, pelayan, dan pelindung masyarakat. Namun, saat penangkapan anak-anak kami, prosedur hukum sama sekali tidak dijalankan. Kami tidak pernah menerima surat penahanan atau pemberitahuan resmi apa pun dari pihak kepolisian,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa anak-anak mereka bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban dari ketidakadilan.

“Anak kami bukan teroris, bukan koruptor, bukan maling. Tapi justru mendapat perlakuan yang di luar nalar. Penangkapan pun dilakukan beberapa hari setelah aksi, bukan saat kejadian. Ini membuat kami sangat bertanya-tanya atas cara kerja Polda Bali,” tegasnya.

Koalisi menyebut kesaksian orang tua para korban memperkuat dugaan pelanggaran serius dalam proses penanganan hukum terhadap massa aksi Solidaritas Bali.

Proses Hukum yang Cacat dan Tidak Manusiawi

Koalisi juga menemukan berbagai kejanggalan dalam proses penetapan 14 orang tersangka, termasuk empat di antaranya anak di bawah umur. Mereka ditangkap tanpa surat resmi, diperiksa tanpa pendampingan hukum, dan bahkan mengalami penyiksaan selama berada dalam tahanan.

Beberapa korban dilaporkan mengalami luka di wajah, dada, dan tubuh akibat kekerasan fisik, bahkan dipaksa membuka pakaian dan digundul oleh aparat.

Koalisi menilai tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran hukum nasional, tetapi juga mencederai komitmen Indonesia terhadap Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Negara seharusnya melindungi hak warga untuk bersuara, bukan mengkriminalisasi mereka. Apa yang terjadi di Bali adalah kemunduran demokrasi dan bentuk nyata penyalahgunaan kekuasaan,” tegas perwakilan Koalisi.

Negara Dinilai Gagal Jalankan Amanat Konstitusi

Koalisi Advokasi Bali menilai, tindakan aparat dalam kasus ini menunjukkan watak militeristik dan krisis akuntabilitas di tubuh kepolisian. Penegakan hukum terhadap massa aksi 30 Agustus 2025 bukan sekadar bentuk kekerasan fisik, tetapi juga simbol dari gagalnya negara menjamin kebebasan berekspresi warga.

Baca juga:  Macet dan Ganggu Privacy Warga, Proyek Bianglala Raksasa di Desa Tibubeneng Minta Dihentikan

Padahal, hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh konstitusi. Namun dalam praktiknya, aparat justru menjadi pelaku pelanggaran hukum dan HAM.

Lima Tuntutan Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi

1. Pemerintah RI menjamin kebebasan berekspresi di Indonesia, khususnya di Bali, dan menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga yang menyuarakan pendapat.

2. Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Denpasar segera menghentikan proses hukum terhadap 14 massa aksi Solidaritas Bali yang menjadi korban pelanggaran HAM.

3. Kapolda Bali diminta mengusut anggota kepolisian yang terlibat dalam kekerasan dan pelanggaran prosedur hukum.

4. Komnas HAM dan Kompolnas RI agar melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan aparat di Bali.

5. Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah Bali memastikan pemulihan psikologis dan menjamin hak pendidikan bagi massa aksi yang masih berstatus pelajar.

Kebebasan Bersuara Adalah Hak, Bukan Kejahatan

Koalisi menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah inti dari demokrasi. Massa aksi Solidaritas Bali bukan pelaku kerusuhan, melainkan warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyuarakan keadilan dan kemanusiaan.

“Tidak ada satu pun warga yang boleh disiksa, ditangkap sewenang-wenang, atau dikriminalisasi hanya karena berani bersuara. Negara wajib berdiri di sisi rakyat, bukan menindasnya,” tegas Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi. (Red/Tim)