
JAKARTA – Dunianewsbali.com, Konflik antara dosen dan mahasiswa merupakan dinamika yang wajar dalam kehidupan kampus. Perbedaan sudut pandang, miskomunikasi, atau ekspektasi yang tidak sejalan kerap menjadi pemicu gesekan. Namun, konflik bukanlah sesuatu yang selalu negatif. Justru di dalamnya tersimpan peluang untuk saling belajar dan bertumbuh, asalkan dikelola dengan bijak.
Salah satu konflik yang sering muncul adalah terkait penilaian dan pemberian tugas. Mahasiswa kerap merasa tidak mendapat kejelasan atau keadilan, sementara dosen merasa otoritas akademiknya dipertanyakan. Situasi ini sering diperburuk oleh minimnya ruang dialog yang sehat dan terbuka.
Untuk itu, dibutuhkan perubahan pola komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Dosen perlu membuka ruang yang aman bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut. Di sisi lain, mahasiswa juga perlu belajar menyampaikan aspirasi secara sopan, dengan tetap menghargai peran dan tanggung jawab dosen. Komunikasi dua arah yang dilandasi kepercayaan akan memperkuat relasi akademik dan mencegah konflik berkembang lebih jauh.
Kampus juga memegang peran penting dalam menciptakan ekosistem yang mendukung penyelesaian konflik. Penyediaan ruang mediasi akademik, forum diskusi rutin, atau mekanisme umpan balik yang konstruktif dapat menjadi langkah konkret untuk membangun budaya akademik yang lebih dewasa dan inklusif.
Pada akhirnya, baik dosen maupun mahasiswa memiliki tujuan yang sama: keberhasilan proses pendidikan. Ketika keduanya mampu saling memahami dan menghargai peran masing-masing, maka konflik tidak lagi menjadi medan saling menyalahkan, melainkan peluang untuk memperbaiki dan memperkuat.
Membangun budaya dialog, empati, dan keterbukaan bukan hanya memperbaiki relasi di ruang kelas, tetapi juga membentuk kampus sebagai ruang pertumbuhan manusia seutuhnya.