DENPASAR, 20 September 2025 – Proyek perbaikan jalan dan pemasangan pipa air minum di ruas Jalan Sedap Malam hingga Waribang dan Pasar menuai sorotan tajam. Warga tidak hanya terganggu oleh pemadaman air mendadak tanpa pemberitahuan, tetapi juga mempertanyakan transparansi proyek yang diduga tidak menyertakan papan informasi proyek sebagaimana diwajibkan oleh regulasi.
Pantauan di lapangan menunjukkan, di lokasi proyek hanya terpampang papan sederhana berisi imbauan “Sedang Ada Perbaikan, Harap Berhati-hati”. Papan tersebut tidak memuat informasi fundamental yang wajib dicantumkan untuk proyek penggunaan dana publik, seperti sumber anggaran, nilai kontrak, pelaksana pekerjaan (konsorsium PT Risa Binatama Sivi Putra Makmur KSO), jadwal waktu pelaksanaan, maupun instansi penanggung jawab.
Keluhan warga berlapis. Selain soal ketiadaan informasi, mereka juga merasakan dampak langsung. “Kalau ada info sebelumnya, kami bisa menyiapkan penampungan. Tapi ini tiba-tiba mati,” keluh seorang warga yang aktivitas rumah tangganya terganggu akibat pemadaman air yang mendadak. Keluhan ini mengarah pada PDAM Tirta Sewakadharma yang dinilai kurang komunikatif.
Awalnya, proyek ini disangka berada di bawah kewenangan Dinas PUPR Kota atau Pasar. Namun, setelah dikejar klarifikasi, kedua instansi itu menyatakan bahwa proyek ini merupakan kewenangan Dinas PUPR Provinsi Bali, sebagai bagian dari proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Regional Petanu.
Terlepas dari penjelasan itu, masalah utamanya tetap pada kesalahan prosedur. Setidaknya tiga regulasi utama dinilai terabaikan:
1. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP): yang mewajibkan setiap badan publik untuk mengumumkan informasi publik, termasuk penggunaan anggaran untuk suatu kegiatan.
2. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: yang secara tegas mengharuskan penyedia jasa untuk memasang papan nama proyek di lokasi pekerjaan yang memuat informasi detail.
3. UU No. 2 Tahun 2018: yang menekankan asas transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pembangunan.
Minimnya informasi ini menciptakan ruang kosong yang dipenuhi kecemasan dan ketidakpercayaan warga. Masyarakat kesulitan melacak pertanggungjawaban proyek dan tidak memiliki kepastian kapa gangguan ini akan berakhir.
Dalam keterangan tertulisnya, pihak proyek hanya meminta “permakluman dan pengertian” warga, dengan alasan bahwa air minum dan prasarana jalan adalah kebutuhan dasar. Namun, permintaan itu tidak diiringi dengan peningkatan transparansi yang juga merupakan kebutuhan dasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik.
Warga dan masyarakat luas kini menunggu tindak lanjut tegas dari Pemprov Bali. Tidak hanya sekadar meminta maaf atas ketidaknyamanan, tetapi juga segera melengkapi informasi yang wajib diumumkan. Pembangunan infrastruktur seharusnya membawa kenyamanan, bukan menimbulkan misteri dan keresahan baru di tengah masyarakat. (Brv)