TABANAN – Dunianewsbali.com, Polemik antara petani Jatiluwih dan regulasi penataan pariwisata kembali menjadi sorotan tajam.
Ekonom Jro Gde Sudibya, Anggota MPR RI Utusan Daerah Bali serta Pengamat Ekonomi menilai aksi pemasangan seng dan plastik hitam oleh sejumlah petani yang juga pengusaha mikro di Jatiluwih merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan akibat tekanan kapitalisme pariwisata.
Sudibya menegaskan bahwa pariwisata yang mengutamakan profit kerap mengabaikan hak masyarakat lokal terkait lingkungan, kepentingan ekonomi dan kelestarian budaya.

“Masyarakat petani Jatiluwih yang mencoba mengais rezeki di industri pariwisata merupakan penjaga budaya di lingkungannya,” kata Sudibya di Denpasar, Sabtu, 6 Desember 2025.
Ia juga menyebut para petani sebagai manifestasi “Si Marhaen” yang melawan praktek “penghisapan manusia oleh manusia lainnya”.
Menurutnya, pemerintah semestinya hadir membela petani sebagai implementasi nyata Tri Sakti Bung Karno, bukan hanya slogan saat kampanye.
Dukung Penertiban Bangunan Liar, tapi Petani Harus Disejahterakan
Disisi lain, Pengamat Kebijakan Publik Putu Suasta mendukung keberanian Pansus TRAP DPRD Bali dalam menertibkan bangunan liar di Kawasan Subak Jatiluwih.

“Saya puji Pansus TRAP DPRD Bali berani tertibkan pelanggaran Jatiluwih, selanjutnya daerah lain juga baik Badung, Gianyar, Bangli, Jembrana, Buleleng, Klungkung hingga Katangasem,” kata Suasta di Denpasar, Jumat, 5 Desember 2025.
Putu Suasta menegaskan bahwa penertiban harus dibarengi strategi serius untuk menyejahterakan petani. Ia menyarankan pembebasan pajak lahan petani, jaminan pembelian hasil panen oleh pemerintah, serta menempatkan APBD sektor pertanian sebagai prioritas.
Selain itu, ia mengingatkan agar pungutan wisatawan asing (PWA) tidak disalahgunakan dan tetap berorientasi menjaga daya dukung budaya, alam dan pertanian Bali.
UNESCO Beri Peringatan: Kawasan Subak di Ambang Ancaman
Isu keberlanjutan Subak juga masuk perhatian dunia. UNESCO memberikan peringatan atas terancamnya kelestarian lansekap Subak, termasuk sumber air, hutan, pura, sawah dan daerah aliran sungai.
Gagal mengelola Subak dengan baik berpotensi menghilangkan sejarah panjang sistem irigasi warisan Rsi Markandya yang ribuan tahun lalu mengawali peradaban pertanian di Bali.
Suasta menegaskan bahwa komitmen pemerintah akan terlihat pada rancangan APBD.
“Jika mereka berbicara Subak, dinilai hanya sebatas lip service. Bali identik pertanian dari Subak warisan Rsi Markendnya,” tutupnya.
Dengan tekanan pariwisata dan ancaman alih fungsi lahan, Subak bukan hanya agenda budaya, tetapi masa depan pangan dan identitas Bali di mata dunia. (red).








