Beranda Artikel PMA Nakal, Bagaimana Mengatasinya

PMA Nakal, Bagaimana Mengatasinya

0

Oleh: Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, S.E., M.M.
Guru Besar FEB Undiknas Denpasar

 

DENPASAR – Bali hingga kini masih menjadi magnet kuat bagi investor asing. Sampai November 2024, tercatat sebanyak 267 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) telah dicabut Nomor Induk Berusahanya (NIB) karena dianggap fiktif atau tidak memenuhi komitmen investasi minimal sebesar Rp10 miliar sebagaimana diwajibkan oleh regulasi.

Di tengah tingginya angka proyek investasi asing, dengan nilai realisasi PMA mencapai US$1,61 miliar pada tahun 2024 dan tersebar dalam lebih dari 42.900 proyek, banyak pihak mempertanyakan keabsahan dan dampak riil dari investasi tersebut. Tak jarang proyek-proyek itu tak terwujud di lapangan, sementara izin tinggal para Warga Negara Asing (WNA) yang menjadi sponsor PMA tetap berlaku dan bahkan rawan melanggar aturan keimigrasian.

Secara umum, kehadiran PMA memang memberikan kontribusi positif bagi pembangunan Bali. Investasi asing membuka lapangan kerja, meningkatkan devisa, mendukung pembiayaan infrastruktur, serta memperluas akses terhadap teknologi dan jaringan global. Sektor pariwisata, perhotelan, restoran, dan jasa mengalami dorongan signifikan yang menciptakan efek berantai bagi perekonomian lokal dan membantu menyerap tenaga kerja dalam negeri.

Namun, sisi gelap dari investasi asing juga tidak bisa diabaikan. Banyak PMA yang hanya memanfaatkan perizinan tanpa melakukan kegiatan usaha secara nyata. Hasil pantauan di lapangan menunjukkan banyak kantor yang tidak benar-benar ada, proyek yang tidak berjalan, dan keberadaan WNA yang berlindung di balik badan usaha fiktif. Situasi ini semakin meresahkan ketika diketahui mereka melanggar izin tinggal.

Operasi gabungan bertajuk Wira Waspada yang digelar sejak Januari hingga Februari 2025 oleh Imigrasi, BKPM, Kepolisian, dan Kejaksaan mengungkapkan bahwa sebagian besar PMA bermasalah menjadi sumber pelanggaran keimigrasian. Dari 267 PMA yang dicabut izinnya, sebanyak 74 di antaranya masih aktif sebagai penjamin bagi 126 WNA, dan sebagian dari mereka telah dideportasi akibat overstay atau pelanggaran terhadap izin sponsor.

Di sisi lain, muncul pula masalah eksploitasi lahan yang tidak sesuai peruntukan. Banyak investor asing menguasai tanah tanpa kontribusi yang jelas bagi masyarakat lokal, memicu kesenjangan sosial, serta mengancam ekosistem dan kelestarian budaya Bali.

Menghadapi fenomena ini, diperlukan langkah tegas dan terintegrasi. Proses verifikasi sebelum penerbitan izin perlu diperkuat dengan pengecekan lapangan yang lebih akurat. Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan instansi terkait menjadi sangat penting dalam mengawasi realisasi investasi dan keabsahan izin tinggal WNA. Pembatasan nilai minimal investasi juga patut dipertimbangkan agar hanya investor yang serius dan memiliki kapasitas yang diberi ruang. Di sisi lain, sanksi tegas terhadap pelanggaran harus ditegakkan, baik dalam bentuk pencabutan izin, denda berat, hingga deportasi bagi penjamin WNA yang menyalahgunakan wewenang.

Pemerintah daerah Bali juga diharapkan memperkuat regulasi lokal, memperjelas zonasi dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL), serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan. Perlu ada upaya serius untuk melindungi pelaku usaha lokal dan UMKM agar tidak terpinggirkan oleh dominasi modal asing. Selain itu, penerapan sistem pelaporan realisasi investasi secara real-time melalui OSS serta transparansi data publik menjadi sangat krusial untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan dalam pengelolaan investasi asing di Bali.
(***)