BADUNG – dunianewsbali.com, Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali menghentikan sementara aktivitas proyek PT Jimbaran Hijau (JH) setelah menemukan dugaan pembatasan akses di Pura Batu Nunggul di Jalan Goa Peteng, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung. Keputusan itu diambil usai sidak pada Jumat (12/12) siang, yang memicu ketegangan antara warga adat dan pihak perusahaan.
Pansus tiba di lokasi sekitar pukul 11.10 Wita dan langsung melakukan persembahyangan di Pura Batu Nunggul sebelum meninjau area sekitar. Rombongan dipimpin Ketua Pansus TRAP I Made Supartha. Usai sembahyang, pansus bersama perwakilan instansi kemudian menelusuri laporan masyarakat mengenai akses yang diduga ditutup pihak pengembang.
Sejumlah instansi hadir, baik dari Provinsi Bali maupun Kabupaten Badung, mulai Badan Pertanahan Nasional (BPN), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), serta Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) dan undangan lainnya.
Pada intinya, hasil sidak ini menghasilkan rekomendasi langsung kepada Satpol PP Provinsi Bali dan Badung agar menghentikan sementara seluruh kegiatan proyek dilokasi tersebut dan memasang garis pembatas, membuka akses bagi desa adat, serta memastikan kegiatan renovasi pura dapat dilanjutkan. Pansus Trap juga menyatakan akan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) RDP untuk memanggil pihak Jimbaran Hijau, meminta klarifikasi izin, legalitas pembangunan, termasuk status jalan dan penggunaan HGB di kawasan itu.
Ketua Pansus I Made Supartha saat sidak menjelaskan kegiatan ini dilakukan untuk menindaklanjuti aduan masyarakat Adat Jimbaran yang sudah dua kali datang ‘mesadu’ ke DPRD Bali. Ia mengatakan ada aduan enam pura yang berada di dalam area proyek pengembangan itu dan para pemilik pura mengeluhkan akses yang kian terbatas. Disamping itu, Pansus juga mencatat sejumlah sengketa lahan yang belum terselesaikan.
“Kurang lebih ada 24 hektare tanah yang katanya belum diselesaikan administrasinya. Itu harus diselesaikan tuntas. Juga ada masalah-masalah tanah milik masyarakat yang belum terselesaikan, bahkan kabarnya juga ada aset PT lain yang aksesnya ikut tertutup. Persoalan-persoalan ini nanti akan diperdalam. Ini baru awal melihat lapangan,” ujar Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini.
Prioritas pemeriksaan diarahkan pada dugaan penutupan akses menuju pura. Pansus menekankan jaminan kebebasan beribadah sesuai Pasal 28E dan 29 UUD 1945. Supartha juga menyinggung aturan Undang-Undang Jalan yang melarang penutupan jalan publik tanpa izin. “Terkait penutupan jalan menuju akses pura itu, ditanya dulu. Sudah punya izin belum dari polisi untuk nutup jalan? Ada rekomendasi dari Dinas Perhubungan? Jalan alternatif sudah disiapkan? Ini urusan prinsip. Negara menjamin kebebasan umat untuk beribadah. Ini tidak bisa ditolerir,” tegas anggota Komisi I DPRD Bali itu.
Ketegangan pertama muncul ketika rombongan Pansus mendapati akses masuk kawasan ditutup dan dijaga petugas keamanan PT Jimbaran Hijau. Supartha mempertanyakan sikap perusahaan yang tetap melakukan penyaringan masuk meski mengetahui adanya kegiatan sidak. “Kami hadir sebagai lembaga berdasarkan perintah undang-undang. Kenapa ditutup seperti tadi itu? Baru masuk saja sudah dipertanyakan lagi boleh masuk apa tidak. Dan berapa banyak akses seperti ini yang ditutup?” ujarnya.
Tim Legal PT Jimbaran Hijau (JH), Ignatius Suryanto SH atau Igan, menjelaskan bahwa kawasan yang ditutup tersebut merupakan area dengan status SHGB milik PT sehingga dilakukan screening demi keamanan area. Ia membantah menutup akses bagi umat. “Di kawasan pengembangan PT Jimbaran Hijau ada empat pura besar, bukan enam. Ada Pura Batu Meguwung, Pura Batu Mejan, Pura Dompe, dan Pura Taksu. Semua pura ini dilestarikan, dibantu bangun, dan disiapkan aksesnya. Jalan yang dari ujung sana memang jalan publik, tapi begitu masuk ke dalam itu adalah kawasan PT Jimbaran Hijau,” kata Igan.
Namun Supartha menilai penjelasan itu tidak konsisten. Ia mempertanyakan mengapa akses dibatasi jika perusahaan mengklaim memberi ruang bagi umat. “Tadi bilang di kawasan kasih ruang. Sekarang kenapa ditutup? Sudah buat surat undangan, harusnya tahu kami hadir. Kenapa masih ditutup seperti itu?” tanyanya.
Kuasa Hukum Promas Law Firm yang mewakili Pengempon Pura Belong Batu Nunggul, I Nyoman Wirama, menimpali bahwa renovasi pura merupakan bagian dari ibadah. Ia menyampaikan bahwa beberapa kali terjadi larangan masuk oleh pihak Jimbaran Hijau sehingga sampai saat ini renovasi tidak kunjung bisa dijalankan. Dalam suasana memanas itu, sejumlah warga adat yang ikut menyaksikan turut meneriakkan keberatan. “Saya klarifikasi dulu. Ya, pada intinya kalau diartikan secara luas, renovasi itu termasuk bagian dari beribadah,” tuturnya.
Perdebatan kemudian beralih kepada persoalan akses. Igan, menegaskan pura berada di atas tanah milik PT JH, sementara Supartha dari Pansus TRAP menekankan pentingnya membedakan persoalan status tanah dengan akses beribadah. Ketika Supartha mempertanyakan siapa yang lebih dahulu ada, pura atau pengembang, jawaban Igan yang menyebut Jimbaran Hijau ‘lebih dulu’ memancing keributan warga yang sontak berseru bahwa pura jauh lebih awal sudah berdiri.
Di tengah suasana riuh, Kerta Desa Adat Jimbaran, I Nyoman Tekat, memaparkan sejarah terbentuknya akses jalan dan peralihan tanah dari PT Citratama Selaras (CTS) ke Jimbaran Hijau. Ia menjelaskan sejak 1994 tanah tersebut cenderung telantar hingga akhirnya terjadi peralihan hak guna bangunan (HGB) ke pihak baru.
Penjelasannya merinci proses tukar menukar lahan, penggusuran warga, hingga dugaan bahwa perpanjangan HGB dilakukan tanpa pemanfaatan optimal lahan yang diberikan pemerintah. Tekat mempertanyakan mengapa tanah yang telantar bertahun-tahun dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari negara.
Kepala Satpol PP Provinsi Bali I Dewa Nyoman Rai Dharmadi turut menegaskan masalah penataan wilayah. “Tentu, kaitan dengan penataan, pembangunan penataan, apalagi itu berdasarkan HGB, harus ada izin. Buat jalan akses jalan pun harus ada izinnya,” ujarnya. Ia juga menyebut sempat tersinggung dihalangi ketika memasuki lokasi padahal rombongan pansus sudah menyerahkan surat resmi.
Anggota Pansus, I Ketut Rochineng, menyoroti peralihan lahan dari PT Citratama Selaras ke PT Jimbaran Hijau yang dinilai tidak wajar. Perpanjangan HGB yang muncul di tengah masa berlaku disebutnya perlu diselidiki. Ia menyatakan aspek hak atas tanah harus ditelusuri terlebih dahulu sebelum masuk ke ranah perizinan dan operasional.
Sekretaris Pansus TRAP, I Dewa Nyoman Rai, juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam argumen pihak legal PT Jimbaran Hijau. Ia menilai jawaban mengenai legal standing dan dokumen pendukung belum konsisten. Ketika ditanya soal AMDAL, Igan menjawab bahwa dokumen tidak dibawa saat itu, dan seluruh dokumen akan diserahkan kemudian. “Prinsipnya kita nggak akan berani ngapain-ngapain sebelum ada dokumen resmi,” jawab Igan.
Dari DPRD Badung, I Wayan Luwir Wiana menambahkan bahwa masyarakat Jimbaran telah lama menyampaikan keresahan terkait aktivitas perusahaan di wilayah tersebut. Ia menegaskan perlunya akses dibuka agar renovasi pura dari hibah provinsi bisa dilanjutkan, dan seluruh persoalan akan dibahas lebih dalam dalam rapat kerja pansus.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Pansus TRAP, Dr Somvir, menilai kawasan tersebut seperti ditelantarkan dalam jangka panjang. Ia memperingatkan agar lahan tidak menjadi sarana permainan bisnis dan menekankan pentingnya menjaga nilai adat Bali yang melekat pada tanah, termasuk hak masyarakat untuk menjalankan ritual keagamaan tanpa hambatan.
“Jangan sampai PT JH ini menjadi tempat pencucian uang, mungkin beli sangat murah, kemudian pelan-pelan dijual mahal akhirnya tidak bangun-bangun juga. Buktinya kan ini tidak dibangun-bangun. Nah karena bali punya tradisi, adat, budaya, dan agama, yang sangat akrab dengan tanah. Biarpun siapapun itu yang punya disini, hak masyarakat bali yang lahir di bali dimanapun dia mau sembahyang mandi di laut, itu tidak boleh (dilarang), kalau anggota dewan dihentikan (dilarang masuk) apalagi masyarakat, apalagi para pemangku, itu sangat disayangkan,” sebutnya.
Setelah serangkaian diskusi di lapangan, pansus mengambil keputusan awal. Dewa Nyoman Rai menyampaikan bahwa seluruh aktivitas proyek dihentikan sementara, dan akses bagi desa adat harus dibuka. Ia menegaskan penghentian ini bersifat sementara hingga seluruh dokumen dan penjelasan disampaikan dalam pertemuan selanjutnya di kantor DPRD dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Ketua Komisi II DPRD Badung, Luwir juga mempertegas putusan tersebut. Ia meminta Satpol PP Provinsi dan Badung memasang police line, menghentikan seluruh kegiatan di area proyek, serta membuka pintu gerbang agar masyarakat dapat melanjutkan renovasi pura.
Soal Keputusan itu, pihak PT JH melalui Igan menyatakan kesediaan mengikuti arahan pansus. “Intinya kami akan mengikuti arahan termasuk perizinan semuanya kita akan siapkan, jadi kami menunggu untuk dipanggil, supaya semuanya clear,” pungkasnya. (Red)








