DENPASAR – Dunianewsbali.com, Aksi rakyat memenuhi jalan untuk menunjukkan solidaritas atas meninggalnya Affan Kurniawan, yang mereka bawa adalah harapan akan keadilan. Namun, harapan itu seakan terhenti di tengah dugaan intimidasi aparat yang mencoreng wajah demokrasi.
Demonstrasi yang digelar di depan Polda Bali dan DPRD Bali itu pada awalnya berlangsung tertib. Mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil bergabung dalam barisan damai. Namun, suasana mendadak memanas ketika aparat disebut bertindak berlebihan terhadap beberapa warga yang berada di lokasi.
Salah satunya dialami Maximilano, pemuda yang mengaku alumni Universitas Udayana. Ia mengungkapkan sempat mendapat pukulan aparat, padahal ia hanya sedang menonton jalannya aksi. “Saya tidak ikut teriak, tidak ikut dorong. Saya hanya berdiri melihat, tapi tiba-tiba kena pukul,” ucapnya dengan nada kecewa.
Selain Maximilano, seorang perempuan yang merekam aksi aparat juga dipaksa menghapus videonya. Kesaksian ini diungkapkan oleh akademisi Iskar Jamal, SIP, MAP.
“Perempuan itu hanya bilang, ‘jangan tangkap, jangan tangkap’. Dia tidak mengganggu, hanya merekam. Namun dipaksa menghapus videonya. Itu bentuk intimidasi. Hape itu ranah privasi,” jelasnya.
Iskar menegaskan, tindakan seperti ini merusak kepercayaan publik dan menekan mental masyarakat yang seharusnya bebas bersuara. “Kalau rakyat hanya rekam lalu ditekan, ini bukan demokrasi namanya. Aparat jadi tampak melindungi kepentingan tertentu, bukan rakyat,” tambahnya.
Menurutnya, ada pula sentuhan fisik yang dilakukan aparat terhadap perempuan tersebut. “Itu melukai hati kami yang ada di lapangan. Seolah masyarakat tidak punya ruang lagi untuk mendokumentasikan kebenaran,” katanya.
Padahal, hak masyarakat untuk berdemonstrasi dijamin UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) serta UU No. 9 Tahun 1998. Aparat pun memiliki kewajiban mengawal aksi, menjaga netralitas, dan tidak membungkam aspirasi publik. Pemaksaan penghapusan file tanpa prosedur resmi, apalagi di ruang publik, jelas tidak memiliki dasar hukum.
Peristiwa ini memantik kecaman dari akademisi dan masyarakat sipil Bali. Mereka menilai pemukulan terhadap warga dan pemaksaan penghapusan rekaman bukan hanya tindakan sewenang-wenang, tetapi juga ancaman nyata terhadap demokrasi.
“Kalau intimidasi semacam ini dibiarkan, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan,” tegas Iskar.
Aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan akhirnya menyisakan pertanyaan besar, masih amankah suara rakyat di ruang publik? Di tengah tuntutan keadilan, dua peristiwa, pemukulan terhadap Maximilano dan intimidasi terhadap perempuan dengan ponsel di tangannya, menjadi simbol betapa rapuhnya ruang demokrasi hari ini.(Red/Ich)