Beranda Artikel Suara yang Tak Terdengar, Luka dari Rumah dan Dunia

Suara yang Tak Terdengar, Luka dari Rumah dan Dunia

0
Foto: Ilustrasi anak yang mengalami tekanan emosional di lingkungan keluarga. Banyak luka batin bermula dari rumah, tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman.

Oleh: Mariza Riza

Denpasar – Kasus bunuh diri kembali menjadi alarm bagi nurani kita semua.Di balik setiap tragedi seperti ini, selalu ada kisah yang tak sempat diceritakan tentang anak yang tumbuh di rumah tanpa pelukan, atau seseorang yang perlahan kehilangan harapan karena ejekan dan penolakan dari sekitarnya.

“Kadang, yang mati bukan karena ingin pergi, tapi karena lelah hidup tanpa didengar.” Tak semua luka berasal dari luar rumah. Sebagian justru lahir dari tempat yang seharusnya paling aman: keluarga.

Tekanan, kemarahan, dan pola asuh yang toxic sering kali meninggalkan jejak luka batin mendalam.

Kata-kata kasar, tuntutan yang tak manusiawi, hingga kurangnya dukungan emosional dapat menjadi bibit depresi yang perlahan membunuh kepercayaan diri seorang anak.

Sementara di sisi lain, bullying di lingkungan sekolah atau sosial masih menjadi momok yang sering dianggap remeh.

Padahal, ejekan, hinaan, dan pengucilan adalah bentuk kekerasan psikologis yang bisa menghancurkan jiwa jauh lebih cepat daripada luka fisik. “Mulut bisa membunuh lebih cepat dari pisau, hanya saja darahnya tak terlihat.”

Fenomena toxic parenting dan bullying bukan sekadar isu pribadi, melainkan potret sosial yang menuntut tanggung jawab bersama.

Ketika rumah tidak lagi memberi rasa aman, dan sekolah menjadi ruang penghakiman, maka seseorang kehilangan tempat untuk berpijak.

Kita memandang penting untuk mengangkat kembali isu ini, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengingatkan: di balik setiap berita tentang bunuh diri, ada seseorang yang sebenarnya hanya ingin didengar, bukan dihakimi.

“Sebelum menghakimi yang pergi, tanyakan: berapa kali ia berteriak dalam diam tanpa ada yang mendengar?”

 Mari Belajar Mendengar

Kita sering kali lupa bahwa menjadi manusia tak hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengar dengan hati.

Baca juga:  Hujatan di Tengah Bencana Banjir Bali: Sebuah Cermin Retaknya Solidaritas Sosial

Satu telinga yang benar-benar mau mendengar, kadang lebih menyelamatkan daripada seribu nasihat yang diucapkan tanpa empati. Mari mulai dari rumah, dari lingkungan kecil kita: dengan lebih lembut berbicara, lebih sabar memahami, dan lebih manusiawi menilai.

Catatan Penting

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang berjuang dengan tekanan hidup, perasaan cemas, atau pikiran untuk mengakhiri hidup, tolong jangan diam.

Hubungi Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes RI di 119 ext 8, atau layanan konseling profesional di sekitar Anda. Bantuan selalu ada. Hidup Anda berharga.

 

Redaksi Dunia News Bali:

Tulisan ini merupakan bentuk refleksi kemanusiaan dan edukasi sosial dari redaksi Dunia News Bali, bukan opini pribadi penulis terhadap pihak mana pun.
Isi artikel bertujuan meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya empati dan kesehatan mental.

Suara kecil yang ingin terus mengingatkan: kadang, berita bukan hanya untuk dibaca tetapi untuk direnungkan.