BADUNG — Mediasi antara Desa Adat Jimbaran dan PT Jimbaran Hijau (JH) di Kantor Lurah Jimbaran, Senin (03/11/2025), kembali berakhir tanpa titik temu. Sengketa lahan seluas 280 hektare di Bukit Jimbaran itu kian mengeras, mempertemukan dua kekuatan hukum yang saling bertolak belakang: legalitas sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik korporasi versus hak ulayat dan spiritual masyarakat adat yang merasa terpinggirkan dari tanah leluhurnya sendiri.
Bagi warga Jimbaran, ini bukan sekadar konflik tanah, ini soal eksistensi dan harga diri. Sementara bagi PT Jimbaran Hijau, ini adalah perkara kepastian hukum atas aset yang sah.
Jejak Panjang Alih Hak dan Lubang Hukum dalam Proses HGB


Akar persoalan bermula dari proses alih izin lokasi dan HGB sejak awal 1990-an. Berdasarkan dokumen “Resume Permasalahan Keberadaan PT Jimbaran Hijau” tertanggal 29 Juli 2025, tanah yang dulunya digarap turun-temurun oleh warga Jimbaran itu dialihkan melalui surat pernyataan “tidak keberatan” pada tahun 1994.
Surat itu ditandatangani sejumlah pejabat kelurahan dan tokoh adat tanpa melibatkan masyarakat penggarap, sebuah cacat prosedural yang kini menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Alih kepemilikan tanah dari PT Bali Paradise Resort ke PT Citratama Selaras (CTS), dan akhirnya ke PT Jimbaran Hijau pada 2009, menyisakan jejak administratif yang kabur. Banyak warga mengaku tak pernah diajak bermusyawarah atau menerima ganti rugi yang layak.
Padahal, menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara wajib mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Prinsip ini ditegaskan lagi dalam Pasal 3 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yang menyebutkan bahwa hak ulayat masyarakat adat tetap diakui selama masih ada dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dengan demikian, meski PT Jimbaran Hijau memiliki HGB yang sah secara formal, hak adat atas tanah itu tidak otomatis gugur.
Konflik ini memperlihatkan celah hukum antara pengakuan konstitusional terhadap adat dan pelaksanaan teknis agraria di lapangan yang sering kali berpihak pada modal.
Insiden Pura Batu Nunggul: HGB Melawan Hak Suci
Ketegangan mencapai puncak pada Juni 2025 ketika 46 kepala keluarga pengempon Pura Belong Batu Nunggul menerima hibah Rp500 juta dari Pemprov Bali untuk perbaikan pura. Namun akses menuju lokasi ditutup dengan tembok dan papan larangan bertuliskan ancaman pidana berdasarkan Pasal 167 KUHP (masuk tanpa izin ke pekarangan orang lain) dan Pasal 385 KUHP (penyerobotan tanah).
Kuasa hukum pengempon pura, I Nyoman Wirama, S.H., menyebut tindakan perusahaan sebagai bentuk pelanggaran hak beragama sebagaimana dijamin Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 serta pelanggaran terhadap asas keadilan sosial. “Jalan menuju pura itu sudah ada jauh sebelum perusahaan berdiri. Tak ada dasar hukum untuk menutup akses umat beribadah,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap Pasal 55 UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, karena pura yang berdiri sejak sebelum kemerdekaan termasuk situs budaya yang wajib dilindungi.
Sebaliknya, juru bicara dari tim kuasa hukum PT Jimbaran Hijau, Michael A. Wirasasmita, S.H., M.H., menegaskan bahwa perusahaan tidak melarang kegiatan keagamaan, namun menolak pembangunan fisik baru di atas tanah berstatus HGB aktif. “Kami menghormati ritual, tapi penggunaan dana hibah di lahan perusahaan dapat menimbulkan risiko hukum,” katanya.
Argumen ini berdasar pada prinsip perlindungan hak kepemilikan sebagaimana diatur Pasal 570 KUH Perdata, bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati dan menguasai sesuatu secara penuh, selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Namun dalam konteks tanah adat, klausul itu menjadi problematik karena hak korporasi sering kali menegasikan hak kolektif masyarakat adat yang sifatnya tidak tertulis namun diakui oleh hukum nasional.
Negara di Persimpangan: Hukum Positif vs Hukum Adat
Mediasi yang digelar awal November ini menjadi potret macetnya mekanisme penyelesaian sengketa agraria di Bali. Desa Adat Jimbaran menuntut pembukaan akses dan pengembalian hak adat, sedangkan PT Jimbaran Hijau bertahan pada legitimasi sertifikat yang dikeluarkan negara.
SHGB PT Jimbaran Hijau sendiri sebagian besar berakhir pada 2024. Warga berharap Kementerian ATR/BPN menolak perpanjangan izin tersebut sesuai Pasal 34 ayat (2) PP No. 18 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa perpanjangan HGB dapat ditolak jika pemegang hak menelantarkan tanah atau tidak memenuhi kewajiban pembangunan.
Faktanya, sebagian besar lahan itu hingga kini tetap kosong, sebuah bukti nyata penelantaran. Jika pemerintah tetap memperpanjang HGB tanpa evaluasi, maka negara telah mengabaikan prinsip “tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagaimana ditegaskan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Refleksi: Ketika Hukum Kehilangan Rasa
Kasus Jimbaran Hijau memperlihatkan ironi hukum agraria Indonesia: aturan yang semestinya melindungi masyarakat adat justru sering menjadi alat legalisasi perampasan hak mereka. HGB, yang dalam teori adalah instrumen pengaturan pemanfaatan tanah negara, dalam praktiknya menjadi tameng kekuasaan korporasi atas ruang hidup komunitas adat.
Negara kini dihadapkan pada pilihan moral dan hukum: menegakkan keadilan formal berbasis sertifikat, atau menegakkan keadilan substantif yang berpihak pada akar budaya dan spiritualitas rakyat.
“Pura bukan sekadar bangunan, tapi jiwa yang menghidupi Bali. Jika akses menuju jiwa itu ditutup, maka hukum pun kehilangan nuraninya,” ujar Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Rai Dirga Arsana Putra, menutup mediasi dengan suara bergetar.
Sengketa Jimbaran Hijau bukan hanya perkara batas tanah, tetapi ujian besar bagi negara dalam menegakkan keadilan yang berakar pada nilai kemanusiaan dan adat, dua hal yang semestinya tidak saling meniadakan.
Konflik ini adalah cermin dari paradoks pembangunan Bali. Kemajuan pariwisata dan investasi seringkali dibayar dengan pengorbanan masyarakat lokal yang justru menjadi ruh dari pulau itu sendiri. Negara hadir sebagai pemberi izin, tetapi seringkali absen sebagai penengah yang adil. (Brv)








