DENPASAR – Dunianewsbali.com, Polemik antara WKS dan Jro Bendesa Desa Adat Pemogan terus berlanjut dan menjadi perhatian publik. Media berhasil menghubungi Jro Bendesa Pemogan yang, melalui pesan WhatsApp, menegaskan telah merespons surat dari Krama.
“Tyang sudah membalas surat Krama tyang dan berharap agar Krama hadir. Ngih, tyang sangat berharap permasalahan ini tidak melebar dan cepat selesai. Suksma,” ujarnya.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, Jro Bendesa belum memberikan tanggapan terkait rencana WKS yang menginginkan mediasi dilakukan di Balai Kerta Adyaksa, Kantor Kejaksaan.
WKS menegaskan, mediasi harus dilakukan di tempat netral. “Bentuk penghormatan tertinggi adalah menghormati diri sendiri. Kalau tempat di sana sudah dilecehkan, untuk apa datang lagi?” tegasnya.
WKS mengaku memiliki trauma setelah mengalami perundungan di kantor LPD pada rapat pembentukan Panitia Karya Ngaben Masal, Juli 2022. “Saat itu tidak ada satu pun, termasuk Jro Bendesa, yang bersikap netral. Bahkan ada oknum yang menggebrak meja ketika saya meminta transparansi pembanding harga sewa tenda ratusan juta rupiah yang didanai LPD. Dana rakyat seharusnya digunakan secara efektif dan efisien,” jelasnya.
WKS juga menambahkan, sejak awal ia telah dipercaya sebagai wakil Banjar dalam kegiatan Karya Ngaben Masal dan diberi tanggung jawab sebagai Bendahara 1. Dalam rapat bersama yang dihadiri Jro Bendesa, ia sempat mengusulkan sistem pengadaan barang menggunakan PR (Purchase Request), PO (Purchase Order), dan perbandingan harga untuk memastikan transparansi dan efisiensi anggaran. Namun, usulan tersebut ditolak.
“Penolakan itu membuat saya khawatir dana rakyat tidak dikelola dengan prinsip transparansi. Karena itu saya mendorong agar ada mekanisme yang jelas dan diawasi,” tambahnya.
Menurut WKS, selain faktor trauma, kantor LPD tidak layak dijadikan tempat mediasi karena dianggap tidak netral. Ia berharap mediasi ketiga dapat digelar di Balai Kerta Adyaksa dengan menghadirkan unsur pemerintah, kejaksaan, Majelis Desa Adat (MDA), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
Langkah ini, kata WKS, juga sejalan dengan perhatian Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Dr. Ketut Sumedana, S.H., M.H., yang dalam unggahan media sosialnya menyoroti pentingnya pengawasan dan perbaikan tata kelola dana LPD.
Menutup pernyataannya, WKS menekankan perlunya evaluasi kewenangan desa adat agar tidak menimbulkan sikap arogan. “Mari kita sebagai orang Bali menjaga Bali bersama-sama. Jangan lagi ada pemberian sanksi yang lewat ‘takaran’ karena bisa melahirkan luka sosial yang sulit disembuhkan. Kembalikan peran Bendesa Adat sebagai Penyarikan Desa, yang bertugas sebatas pelaksana Awig-Awig Desa dan hasil paruman Desa Pekraman. Hindari kesan ‘nyapa kadi aku’ yang mudah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Desa Pekraman harus menjadi tempat ‘mesayuban’, tempat berteduh krama di tengah dinamika kehidupan yang tidak semakin mudah,” pungkasnya, mengutip pandangan tokoh masyarakat Jro Gede Sudibya.(ich)