DENPASAR – Dunianewsbali.com, Kasus penganiayaan berujung tewasnya I Pande Gede Putra Palguna (53) kembali menjadi sorotan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Perkara yang bermula dari persoalan utang piutang ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial dan kini menuai tanggapan dari salah satu kuasa hukum terdakwa, I Gusti Gede Putu Atmaja, S.H., M.H., dari Ambara Law Office.
Atmaja menjelaskan, kliennya I Gusti Ayu Leni Yuliastari (57) meminta bantuan dua rekannya, Ida Ayu Oka Suryani Mantara (38) dan Intan Oktavia Pusparini (39), yang dikenal memiliki kemampuan membaca tarot. Tujuannya, agar keduanya bisa membantu membujuk korban supaya bersedia bertemu dan mengembalikan uang yang menjadi hak kliennya.
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bali Dewa Anom Rai meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara bagi masing-masing terdakwa. “Menuntut supaya majelis hakim menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga korban,” ujar JPU di hadapan majelis hakim.
Namun, tim penasihat hukum terdakwa menilai jaksa tidak cermat dalam menyusun dakwaan. Menurut mereka, kliennya tidak memiliki niat maupun peran langsung dalam peristiwa yang mengakibatkan kematian korban.

Tim pembela yang terdiri dari I Gusti Gede Putu Atmaja, S.H., M.H., Gede Agra Kumara, S.H., M.H., dan Rozi Maulana, S.H., menilai penggunaan Pasal 338 KUHP serta Pasal 353 ayat (3) junto Pasal 55 KUHP oleh jaksa tidak tepat dan tidak didukung bukti kuat. Mereka menegaskan, tidak satu pun saksi di persidangan yang melihat atau mendengar keterlibatan langsung Leni Yuliastari dalam tindak kekerasan yang menewaskan korban.
“Bahkan saksi di lokasi kejadian tidak mendengar adanya jeritan korban atau perintah dari klien kami untuk melakukan penganiayaan,” ujar Atmaja. Ia menambahkan, tindakan dua terdakwa lainnya merupakan spontanitas akibat emosi karena merasa ditipu dan dijanjikan hal-hal palsu oleh korban.
Menurut Atmaja, perbuatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai pembunuhan berencana. “Niat (mens rea) pelaku adalah menagih utang, bukan menghilangkan nyawa. Klien kami hanya ingin uangnya kembali, bukan melakukan kekerasan. Bahkan, ia sempat meminta agar korban tidak dianiaya,” tegasnya.

Fakta persidangan juga menunjukkan korban masih bisa keluar masuk kamar kos tempat kejadian tanpa pengawalan. Kondisi ini, kata tim pembela, melemahkan dakwaan jaksa terkait dugaan perampasan kemerdekaan sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP.
Selain itu, tim hukum menilai jaksa mengabaikan asas pertanggungjawaban pidana yang bersifat individual. “Perbuatan penganiayaan dilakukan spontan oleh pihak lain, tanpa perintah atau keterlibatan langsung dari klien kami. Jaksa seharusnya lebih teliti dalam menelaah konstruksi peran setiap terdakwa,” ucapnya.
Atmaja juga menyoroti fakta bahwa korban bukan hanya pihak yang dirugikan, tetapi juga diduga menipu sejumlah orang dalam transaksi jual beli hotel bernilai miliaran rupiah. “Klien kami justru salah satu korban penipuan tersebut. Ia hanya ingin menuntut haknya kembali,” tambahnya.
Melalui pledoi yang akan dibacakan pada Selasa, 21 Oktober 2025, tim kuasa hukum meminta majelis hakim memberikan putusan bebas, atau setidaknya melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, sesuai fakta yang terungkap di persidangan.
Sebagai penutup, mereka menegaskan prinsip in dubio pro reo, bahwa setiap keraguan dalam pembuktian harus ditafsirkan untuk kepentingan terdakwa. “Dengan demikian, klien kami layak dibebaskan dari segala dakwaan,” pungkas Atmaja.(red/tim)








