BADUNG – Sebuah insiden kekerasan yang kejam menimpa Paul La Fontaine, seorang ayah asal Australia, yang datang berkunjung dengan harapan bisa merayakan ulang tahun putri kembarnya, ILF dan SLF, yang kini berusia 6 tahun. Kejadian memilukan ini terjadi di sebuah kompleks perumahan Puri Bunga, Desa Kutuh, Kuta Selatan, Bali, pada 10 September 2024.
Bukannya disambut dengan kebahagiaan, Paul justru diserang secara brutal oleh tiga pria yang diduga merupakan pengawal pribadi mantan istrinya, Adinda Paramitha (AVP).
Sejak Agustus 2022, Paul La Fontaine tidak mengetahui keberadaan putri-putrinya. Mereka diduga disembunyikan oleh AVP, yang menjadi mantan istrinya setelah perceraian yang penuh perselisihan. Menurut pernyataan Paul, mantan istrinya secara sepihak membawa anak-anak itu pergi dan menghilang tanpa memberikan informasi apapun tentang keberadaan mereka, meskipun pengadilan telah memberikan hak asuh bersama antara keduanya (Joint Custody)
Paul, yang selama dua tahun mencari anak-anaknya, akhirnya berhasil melacak keberadaan mereka di sebuah rumah yang dijaga ketat.
“Rumah itu seperti penjara,” katanya, menggambarkan betapa tertutupnya tempat tersebut dengan tembok setinggi lima meter dan minim ventilasi.
Selain itu, Paul mendengar desas-desus bahwa seorang pria warga negara asing lainnya mengaku-ngaku sebagai ayah dari anak-anaknya, meskipun secara hukum dan biologis ILF dan SLF adalah anak kandung Paul.
Pada hari itu, dengan penuh harapan untuk bertemu kembali dengan putri-putrinya, Paul datang ke lokasi tersebut bersama pembantunya, membawa hadiah ulang tahun dan bingkai foto berisi kenangan masa lalu mereka. Dia berharap bisa menghadirkan kembali sedikit kebahagiaan dari masa ketika keluarganya masih utuh. Setibanya di sana, dia mulai menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” khusus untuk kedua putri kembarnya dari luar rumah.
Namun, momen tersebut berubah menjadi mimpi buruk ketika enam pria yang mengaku sebagai keamanan lingkungan mendadak mendekatinya. Mereka menghalangi Paul untuk mendekati rumah tersebut, hal ini menegaskan bahwa mereka bekerja atas perintah AVP.
Paul tetap berdiri dengan tenang sambil terus menyanyikan lagu ulang tahun. Tiba-tiba tanpa peringatan, salah satu dari pria itu mendorong pembantu Paul dan mencoba mengambil ponselnya. Pembantu Paul merasa ketakutan dan Paul membela diri dengan bertanya mengapa pria itu melakukannya, padahal itu hak pembantunya untuk merekam hadiah-hadiah yang ada di meja sementara ia menyanyikan lagu ulang tahun.
Segera setelah itu, pria tersebut menyerang Paul dan melayangkan beberapa pukulan ke kepalanya. Merasa terancam dan kalah jumlah, Paul berlari ke sebuah toko terdekat, meminta para pria tersebut untuk meninggalkannya. Paul berteriak, “Mereka adalah anak-anak saya yang ada di rumah itu.”
Sementara dua pria menghalangi pintu masuk toko kecil itu agar saksi tidak bisa melihat, tiga pria lainnya mendekat dan menyerang dirinya. Paul menceritakan dengan jelas bagaimana dia dipukuli tanpa ampun, dengan pukulan bertubi-tubi menghantam kepalanya dan tubuhnya.
“Mereka menghantam kepala saya, memukul mata, dan area ginjal saya. Mereka terus berteriak akan membunuh saya jika saya berani kembali lagi,” ungkap Paul menceritakan kondisi saat itu dengan penuh trauma.
Saat dipukuli, Paul menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana salah satu dari pria tersebut merusak hadiah yang dibawanya untuk putri-putrinya. Hadiah itu dihancurkan di meja, sementara bingkai foto yang berisi foto keluarga mereka sebelum perceraian dipukul hingga pecah berkeping-keping.
Dengan wajah penuh darah dan tubuh memar, Paul hanya bisa menggunakan satu tangan untuk melindungi dirinya, sementara tangan lainnya dipelintir paksa oleh salah satu penyerang.
“Mereka memaksa saya ke tanah, terus memukul kepala saya, dan mengancam akan membunuh saya jika saya mencoba mendekati anak-anak saya lagi,” kata Paul.
Rasa sakit fisik yang dialami Paul semakin diperparah oleh rasa hancur emosional karena tidak bisa melihat anak-anaknya pada hari yang seharusnya menjadi momen bahagia keluarga.
Setelah kejadian brutal tersebut, Paul segera ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Ia menderita luka parah di wajah dan tubuhnya, termasuk memar serius di area mata dan kepala. Tak hanya itu, Paul juga menderita trauma psikologis akibat kekerasan yang dialaminya.
Pada 12 Oktober 2024, Paul resmi melaporkan kejadian ini kepada Polresta Denpasar, dirinya menuntut keadilan atas serangan brutal yang menimpanya dan berharap agar para pelaku, yang diidentifikasi sebagai pengawal pribadi mantan istrinya, segera diproses hukum.
Paul juga mengungkapkan bahwa dirinya selama ini telah berjuang keras untuk bisa bertemu kembali dengan kedua putri kembarnya, ILF dan SLF, meskipun pengadilan telah memberi keputusan memberikan hak asuh bersama.
Ia merasa sangat frustrasi dengan sikap AVP yang terus menghalangi dirinya untuk menjalankan haknya sebagai seorang ayah. Selain itu, Paul juga tengah terlibat perselisihan hukum terkait aset perkawinan yang diduga telah disalahgunakan oleh mantan istrinya, termasuk pembelian tanah tanpa persetujuannya dengan uang yang didapat selama pernikahan.
Paul kini berharap aparat hukum di Bali untuk tidak hanya bisa memberikan keadilan bagi dirinya, tetapi juga demi masa depan kedua putrinya yang berhak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua.
“Saya hanya ingin menjadi bagian dari hidup mereka. Mereka berhak memiliki hubungan dengan ayah kandungnya,” ujar Paul dengan penuh haru.
Saat ini proses pelaporannya telah direspon oleh penyidik Polresta dengan menerbitkan surat laporan bernomor : STPL/487/IX/2024/SPKT/Polresta Denpasar/Polda Bali, serta telah memanggil dan memeriksa para pihak yang terlibat dalam peristiwa ini.
“Saat ini penyidik sudah memeriksa 4 saksi termasuk saksi korban dan dilanjutkan untuk riksa terlapor,” ujar AKP Ketut Sukadi, Kasi Humas Polresta melalui pesan elektronik (28/10/2024).
Selain itu, dirinya juga membuat laporan ke unit Propam Polresta Denpasar terkait dugaan adanya oknum polisi yang terlibat dalam tindak aksi kekerasan yang dialaminya.
Paul berharap kasus kekerasan yang menimpanya dapat ditangani dengan adil dan tegas oleh pihak berwenang di Bali. Setelah menjalani pengalaman traumatis di tangan para pengawal mantan istrinya, dia merasa bahwa keadilan bukan hanya penting bagi dirinya secara pribadi, tetapi juga untuk masa depan kedua putrinya, yang selama ini terpisah darinya.
Dirinya berharap aparat hukum dapat bertindak sesuai dengan norma hukum yang berlaku, tanpa memandang status atau kekuasaan siapa pun yang terlibat.
Lebih dari sekadar mencari keadilan atas penganiayaan fisik yang dialaminya, Paul berharap kasus ini dapat menjadi titik balik dalam perjuangannya untuk mendapatkan kembali akses ke anak-anaknya.
Harapannya, insiden kekerasan ini merupakan puncak dari konflik panjang yang telah membuat dirinya kehilangan momen berharga dalam kehidupan putri-putrinya. Paul berharap agar sistem hukum tidak hanya melihat insiden kekerasan ini secara terpisah, tetapi juga mempertimbangkan hak asuh anak yang selama ini tidak ia dapatkan meski ada keputusan pengadilan.
Paul ingin insiden ini menjadi peringatan penting bahwa hak seorang ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya harus dilindungi dengan serius. Ia berharap bahwa melalui penyelesaian hukum yang benar, kedua putrinya dapat hidup dalam lingkungan yang lebih aman dan stabil, di mana mereka dapat memiliki hubungan yang sehat dengan kedua orang tua kandungnya.
Kuasa hukum Paul, Devara K Budiman sangat menyayangkan kejadian yang menimpa kliennya, dirinya menilai hal ini sudah keterlaluan dan melanggar hak asasi seseorang.
“Kami sangat prihatin dengan kejadian kekerasan brutal yang dialami klien kami, Paul La Fontaine, yang hanya ingin merayakan ulang tahun putri-putrinya dengan damai. Apa yang terjadi pada Paul bukan hanya tindakan kekerasan fisik yang tidak dapat diterima, tetapi juga pelanggaran serius terhadap hak asuh anak yang sudah diatur oleh pengadilan,” ujar Devara.
Dirinya mendesak pihak berwenang untuk memproses kasus ini secara cepat dan adil, memastikan bahwa para pelaku kekerasan harus bertanggung jawab secara hukum. Tidak ada alasan, baik personal maupun finansial, yang dapat membenarkan tindakan kekerasan ini.
“Kami berharap kasus ini menjadi momentum untuk menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, demi keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi orang tua yang terpisah dari anak-anaknya. Paul berhak untuk berada dalam kehidupan kedua putrinya tanpa intimidasi atau ancaman kekerasan.” pungkasnya. (E’Brv)