Beranda Ekonomi Anggaran Defisit dan Anggaran Surplus

Anggaran Defisit dan Anggaran Surplus

0

Prof Dr. Ida Bagus Raka , SE., MM             
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Undiknas Denpasar

 

DENPASAR – Sering kali kita membaca atau mendengar istilah anggaran defisit dan anggaran surplus, terutama ketika membahas anggaran (budget) pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pertanyaannya, apa sebenarnya makna dari kedua istilah tersebut?

Anggaran defisit terjadi ketika belanja pemerintah melebihi penerimaan, sedangkan anggaran surplus mencerminkan kondisi sebaliknya. Untuk memahami konsep ini lebih dalam, sejumlah teori terkini memberikan kerangka pemahaman yang penting.

Fiscal Theory of the Price Level (FTPL) yang dikemukakan Cochrane dan kolega (2022) berpendapat bahwa keseimbangan fiskal—defisit dan utang—merupakan faktor utama dalam menentukan tingkat harga dan inflasi, sehingga menggeser fokus dari teori kuantitas uang. Sementara itu, teori Fiscal Dominance (2025) menekankan bahwa jika defisit dan utang terlalu besar, kebijakan moneter akan tertekan karena bank sentral harus mendukung pembiayaan pemerintah, yang berpotensi memicu inflasi tinggi.

Prinsip Golden Rule fiskal (2025) menegaskan bahwa utang sebaiknya hanya digunakan untuk pembiayaan investasi, bukan pengeluaran rutin, sehingga anggaran berjalan idealnya seimbang atau bahkan surplus. Konsep razor’s edge deficit yang diperkenalkan Mian, Straub, dan Sufi (2025) menggambarkan bahwa defisit harus dikelola secara presisi: cukup besar untuk mencegah resesi, tetapi tidak berlebihan hingga memicu inflasi atau biaya utang yang sulit dikendalikan. Dari sisi metodologi, pendekatan SMFG (Stackelberg Mean Field Game) yang dikembangkan Mi dan tim (2024) memberikan model kebijakan makro-fiskal yang didasarkan pada respons agregat mikro-ekonomi, sehingga defisit atau surplus dapat dioptimalkan demi kesejahteraan sosial.

Berbagai teori tersebut menunjukkan adanya interaksi yang kompleks antara kebijakan anggaran dan indikator makroekonomi. FTPL dan Fiscal Dominance menyoroti risiko defisit berlebihan yang bisa memicu inflasi melalui ekspektasi pasar dan beban bunga. Golden Rule menegaskan perlunya menjaga keberlanjutan fiskal jangka panjang. Razor’s Edge membuka peluang pemanfaatan defisit secara strategis ketika ekonomi melambat, dengan syarat dikelola hati-hati agar tidak membawa utang ke jalur berbahaya. Sementara SMFG memberi pendekatan yang lebih adaptif dengan mempertimbangkan perilaku ekonomi masyarakat dalam perumusan kebijakan fiskal.

Baca juga:  Kemacetan di Bali dan Strategi Solusi Berkelanjutan

Dinamika serupa terlihat di Indonesia. Pada 2024–2025, defisit fiskal Indonesia meningkat dari sekitar 1,61% PDB (2023) menjadi sekitar 2,75–2,8% pada 2024–2025, tetap berada di bawah batas hukum 3% PDB. Peningkatan ini sebagian besar dipicu oleh program-program seperti subsidi listrik, program makanan gratis, dan pembentukan dana abadi negara (SWF) Danantara. Pada semester I 2025, defisit tercatat hanya 0,09% PDB, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pemerintah juga menerbitkan Inpres No. 1/2025 untuk efisiensi anggaran senilai Rp 306 triliun sebagai langkah restrukturisasi dan pengendalian defisit. Meski demikian, tekanan anggaran masih terasa akibat kebutuhan pendanaan program strategis seperti IKN, subsidi sosial, serta investasi infrastruktur.

Secara umum, kondisi defisit fiskal Indonesia saat ini masih tergolong sehat. Mengacu pada pendekatan Razor’s Edge, defisit digunakan untuk menjaga momentum pertumbuhan dengan PDB yang tumbuh sekitar 5%. Namun, risiko inflasi tetap ada jika defisit terlalu bergantung pada pembiayaan utang jangka pendek di tengah kondisi Fiscal Dominance. Kebijakan efisiensi melalui prinsip Golden Rule serta restrukturisasi anggaran lewat Inpres 1/2025 menjadi langkah penting agar utang rutin tidak membengkak. Pendekatan berbasis mikro seperti SMFG juga berpotensi meningkatkan efektivitas alokasi anggaran, sehingga belanja publik memberikan dampak ekonomi dan sosial yang lebih luas.

Dari keseluruhan paparan ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia mampu mengelola defisit fiskal pada tingkat yang aman dan logis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan prinsip Razor’s Edge. Namun, penerapan Golden Rule serta kewaspadaan terhadap risiko Fiscal Dominance tetap krusial agar defisit tidak berubah menjadi beban inflasi atau utang yang membebani di masa depan. Integrasi model kebijakan canggih seperti SMFG juga dapat membantu mencapai keseimbangan optimal antara defisit dan surplus.(*)

Baca juga:  Perjuangkan Keadilan, Pelaku Usaha SPA Adakan Seminar Nasional