DENPASAR – Dunianewsbali.com || Polemik monopoli perparkiran di Kota Denpasar semakin mencuat setelah implementasi masif Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 64 Tahun 2023 oleh Perumda Bhukti Praja Sewakadarma (PD Parkir Denpasar). Aturan ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, termasuk pemilik lahan private, desa adat, hingga pengguna jalan.
Dalam regulasi tersebut, Perumda memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan memungut tarif parkir baik di ruang milik jalan (rumija) maupun di luar rumija. Namun, banyak pihak mempertanyakan langkah Perumda yang dinilai terlalu agresif hingga menciptakan kesan monopoli.
Klaim Transparansi atau Arogansi?
Direktur Utama Perumda Bhukti Praja Sewakadarma, I Nyoman Putrawan, ST., menampik tudingan bahwa pihaknya memonopoli lahan parkir di ruang private. Menurutnya, pengelolaan parkir di luar rumija tetap membuka ruang bagi pihak lain asalkan memenuhi persyaratan izin dan tunduk pada pengawasan Perumda.
“Kami tidak mengambil alih lahan secara paksa. Bila ada toko atau minimarket yang ingin menggratiskan parkir, kami hanya menghitung potensi pajaknya,” ujar Putrawan. Pernyataan ini justru memicu pertanyaan: apakah pendekatan ini benar-benar murni untuk optimalisasi pajak atau sekadar menambah pemasukan daerah dengan mengorbankan kenyamanan masyarakat?
Tarif dan Beban Ekonomi Baru, Salah satu poin krusial dalam Perwali Nomor 64 Tahun 2023 adalah penetapan tarif parkir. Untuk parkir reguler, tarif ditetapkan Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 3.000 untuk mobil. Namun, tarif parkir insidentil yang dikelola desa adat bisa melonjak hingga Rp 5.000 untuk motor dan Rp 10.000 untuk mobil.
Bagi pemilik toko yang selama ini menyediakan parkir gratis sebagai bagian dari layanan pelanggan, aturan ini dinilai membebani. Beberapa dari mereka mengaku merasa dipaksa untuk mengikuti aturan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap loyalitas konsumen.
Keamanan atau Beban Tambahan?
Perumda menjanjikan keamanan kendaraan masyarakat dengan jaminan ganti rugi jika terjadi kehilangan. Namun, mekanisme ganti rugi ini belum dijelaskan secara rinci, termasuk syarat dan proses klaim.
Di sisi lain, keberadaan juru parkir (jukir) yang wajib berseragam dan memiliki etika pelayanan masih menjadi tantangan besar. Keluhan terkait jukir liar, tarif tidak sesuai, hingga intimidasi kepada pengguna jasa parkir terus bermunculan.
Menakar spirit aturan, dalam dokumen Perwali Nomor 64 Tahun 2023, disebutkan bahwa tujuan utama regulasi ini adalah optimalisasi pajak parkir demi meningkatkan pendapatan daerah. Namun, apakah implementasi aturan ini sudah sesuai dengan semangat transparansi dan keadilan?
Beberapa pengamat menilai, Perumda perlu lebih terbuka dalam menjelaskan hitung-hitungan pajak yang dijadikan dasar penetapan tarif. Selain itu, pendekatan yang lebih inklusif terhadap desa adat dan pelaku usaha private juga penting untuk menghindari kesan arogansi dan monopoli.
Monopoli atau bukan, mekanisme perparkiran di Denpasar kini menjadi isu strategis yang membutuhkan evaluasi menyeluruh. Jika Perumda Bhukti Praja Sewakadarma ingin menjaga legitimasi dan kepercayaan masyarakat, maka transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan prima harus menjadi prioritas utama.(Ich)