Beranda Berita Potensi Bahaya Besar! Proyek FSRU LNG Sanur-Sidakarya: Pipa Gas Lewati Kawasan Padat...

Potensi Bahaya Besar! Proyek FSRU LNG Sanur-Sidakarya: Pipa Gas Lewati Kawasan Padat Warga dan Mangrove, Siapa Tanggung Jawab?

0

DENPASAR – Dunianewsbali.com, Ditengah kontroversi nasional terkait tambang nikel di Raja Ampat, kini Bali menghadapi isu serius terkait proyek Terminal Apung LNG (FSRU) di Sanur-Sidakarya.

Proyek ini menyimpan potensi bahaya besar yang belum banyak disampaikan secara terbuka ke publik, seperti jaringan pipa gas bertekanan tinggi yang akan melintasi kawasan mangrove, kawasan pemukiman dan jalur padat menuju PLTG Pesanggaran.

Berdasarkan dokumen teknis proyek, pipa gas sepanjang 4,8 kilometer akan mengalirkan gas alam bertekanan tinggi dari FSRU yang tingginya bisa mencapai 50 meter, hanya 500 meter dari Pantai Mertasari.

Pipa ini melintasi kawasan konservasi Tahura Ngurah Rai, dibawah hutan mangrove, lalu menembus bawah Jalan By Pass Ngurah Rai hingga ke PLTG.

Jalurnya berada dekat pemukiman padat, sekolah, pura dan pusat aktivitas masyarakat.

Tak hanya itu, pipa ditanam sedalam 3-5 meter, namun tetap berisiko tinggi, jik terjadi korosi, gempa atau human error.

Menurut pengamat ekonomi pembangunan, Jro Gde Sudibya, klaim Gubernur Bali Wayan Koster bahwa proyek ini aman dari sisi keselamatan dan lingkungan terlalu meremehkan risiko.

Diatas kertas bisa terlihat aman, tapi di lapangan, pengerjaan proyek sarat risiko. Kalau gagal menyelamatkan lingkungan, biaya rehabilitasi sangat besar dan kerusakan bisa permanen,” terangnya.

Secara global, ledakan pipa gas bisa menciptakan bola api dengan radius ledakan primer 250-500 meter dan dampak panas hingga 1,5 kilometer tergantung tekanan dan volume gas.

Jika terjadi insiden di Sidakarya, kawasan seperti Sanur, Sesetan dan Pelindo terancam langsung terkena gelombang panas dan kebakaran besar.

Meski demikian, sorotan utama adalah tingkat human error di Indonesia yang relatif tinggi. Dalam konteks infrastruktur berisiko tinggi seperti gas, kesalahan dalam pengelasan, kontrol tekanan atau kegagalan teknis lain dapat berujung bencana.

Baca juga:  Anggota Propam Polda Bali Ditemukan Tewas di Bawah Jembatan Tukad Bangkung, Tinggalkan Surat Wasiat untuk Keluarga

Ditambah lagi, dengan kondisi geografis Bali yang rawan gempa, dengan probabilitas gempa sedang hingga besar di selatan Bali mencapai 15-20 persen per dekade, maka risiko sistemik proyek ini patut diwaspadai.

Sampai saat ini, belum ada kajian risiko publik terbuka terkait keamanan pipa yang ditanam dibawah wilayah urban.

Proyek justru terus dikemas dalam narasi transisi energi bersih, meski gas alam tetap tergolong bahan bakar fosil yang tidak bersih. Pemerintah seakan menutup mata terhadap fakta ini.

Wayan Parna selaku Prajuru Desa Adat Serangan, menegaskan warga paling dekat dengan titik bahaya.

“Jika ada ledakan, kami yang duluan kena. Mereka (pejabat) yang di luar zona bahaya malah menikmati listriknya,” katanya.

PT Dewata Energi Bersih (PT DEB) selaku Joint Venture antara PT Padma Energi Indonesia dan Perusda Bali didukung teknis oleh PT Titis Sampurna, perusahaan inspeksi dan pemeliharaan migas.

Namun, tanggung jawab mereka belum dijabarkan secara transparan. Jika terjadi insiden, PT DEB dan mitranya secara hukum wajib bertanggung jawab, tapi dalam skenario bencana alam, seperti gempa, tanggung jawab bisa kabur dan proses hukum akan rumit.

Gubernur Koster proaktif mendukung proyek ini di berbagai forum publik.

Namun, dampak proyek ini menimbulkan pertanyaan soal tata kelola: apakah seharusnya proyek pemerintah strategis seperti ini lebih terbuka, bukan langsung dikelola ke mitra swasta tertentu?

Mengingat, Terminal Apung LNG Sanur-Sidakarya dirancang beroperasi selama 20 tahun. Nilai investasinya diperkirakan bisa mencapai Rp 4,5 triliun berdasarkan proyek FSRU sejenis di Asia Tenggara.

Selama 20 tahun, nilai transaksi pembelian gas oleh PLN dari proyek ini bisa mencapai Rp 30-40 trilyun tergantung volume dan harga gas.

Baca juga:  Lepas Sambut Dandim 1619/Tabanan, Letkol Inf Riza Taufiq Hasan Serahkan Tongkat Komando kepada Letkol Inf Trijuang Danarjati 

Skala ekonomi sebesar ini memperkuat desakan akan transparansi penuh dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Kasus ini mencerminkan pola serupa dengan proyek tambang nikel di Raja Ampat: dibungkus narasi energi bersih, tapi menyimpan bahaya lingkungan dan sosial besar.

Sudah saatnya publik Bali diberi ruang untuk menentukan apakah risiko ini layak ditanggung demi transisi energi yang belum tentu bersih sepenuhnya. (red/tim).