Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM – Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas
Pengelolaan sampah di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) menghadapi berbagai hambatan yang serius, meski sudah ada contoh keberhasilan di Banyumas dan Surabaya. Para pejabat dan anggota DPRD telah melakukan studi banding ke Surabaya untuk mempelajari pengelolaan sampah yang efektif, namun realisasi di lapangan masih jauh dari harapan.
Salah satu masalah utama adalah melubernya sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung. TPA yang menjadi andalan pengelolaan sampah di kawasan ini sudah melebihi kapasitasnya. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bali, TPA Suwung setiap harinya menerima lebih dari 1.200 ton sampah, sedangkan daya tampungnya semakin menurun. Proses penutupan dan revitalisasi yang direncanakan sejak beberapa tahun lalu masih terkendala akibat belum adanya lokasi pengganti yang disepakati.
Kesulitan dalam menemukan lokasi pengganti untuk TPA menjadi tantangan besar lainnya. Banyak daerah di Sarbagita menolak menjadi tempat pembangunan TPA baru karena kekhawatiran masyarakat akan dampak lingkungan, seperti polusi udara dan penurunan kualitas air tanah. Proses pembebasan lahan juga terkendala akibat harga tanah yang tinggi, sehingga pemerintah daerah sulit merealisasikan rencana ini.
Selain itu, implementasi kebijakan di lapangan menghadapi kendala besar. Peraturan tentang pengelolaan sampah yang sudah dirumuskan sering kali tidak berjalan efektif. Sebagai contoh, kebijakan pengurangan sampah plastik yang diterapkan di Denpasar dan Badung sering hanya bersifat simbolis. Banyak pelaku usaha yang kembali menggunakan plastik sekali pakai karena kurangnya pengawasan yang konsisten.
Kurangnya sinergi antara pemerintah daerah dan masyarakat juga menjadi masalah. Di Surabaya, keberhasilan pengelolaan sampah didukung oleh integrasi kebijakan dan partisipasi aktif masyarakat. Sebaliknya, di Sarbagita, tingkat kesadaran masyarakat dalam memilah sampah masih sangat rendah. Berdasarkan survei tahun 2024, hanya 20% masyarakat yang aktif memilah sampah, sementara sisanya membuang sampah secara campur tanpa peduli dampaknya.
Anggaran untuk pengelolaan sampah juga masih menjadi hambatan. Sebagian besar pemerintah daerah di kawasan Sarbagita hanya mengalokasikan sekitar 2-4%% dari APBD untuk sektor ini, jauh di bawah kebutuhan yang diperlukan. Akibatnya, banyak infrastruktur seperti TPS 3R atau fasilitas pengolahan modern yang belum terealisasi.
Hambatan-hambatan tersebut mencerminkan perlunya perubahan besar dalam strategi pengelolaan sampah di Sarbagita. Tanpa adanya solusi konkret seperti pembangunan TPA baru, peningkatan edukasi masyarakat, dan perbaikan sistem pengawasan, kawasan ini akan terus terjebak dalam krisis pengelolaan sampah yang semakin membebani lingkungan dan masyarakat. (***)