DENPASAR – Dunianewsbali.com, Lonjakan harga babi hidup hingga Rp57 ribu per kilogram memicu kekhawatiran berbagai pihak, terutama asosiasi pemotong babi. Untuk mencari solusi atas permasalahan ini, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, melalui Kepala Dinas Dr. Wayan Sunada, menginisiasi pertemuan tiga asosiasi terkait: Gabungan Usaha Peternakan Babi (GUPBI), asosiasi pemotong babi, dan pengirim babi antar pulau.
Diskusi Awal, Solusi Belum Tercapai
Dr. Wayan Sunada menyatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk menciptakan kesepahaman di antara ketiga asosiasi, sehingga tidak saling menyalahkan terkait fluktuasi harga. Sebelumnya, saat harga babi turun, peternak merasa dirugikan, sedangkan saat harga naik, pemotong babi yang merasakan dampaknya.
“Kami memfasilitasi agar ketiga asosiasi ini bisa berdiskusi dan menemukan solusi. Rencananya, akan ada kesepakatan terkait pengiriman dan harga. Namun, hari ini belum ada titik temu,” ujar Sunada.
Selain itu, ia menegaskan bahwa pemerintah provinsi telah bersurat ke Kementerian Pertanian agar menghentikan impor daging beku karena dampaknya terhadap harga daging lokal di Bali.
Harapan Peternak dan Pelaku UMKM
Putu Ria Wijayanti, seorang peternak sekaligus pengirim daging babi, berharap pemerintah dapat mempermudah UMKM dalam mengakses Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sehingga pelaku usaha kecil mampu bersaing. Menurutnya, jika daya serap daging di Bali menurun karena harga tinggi, pasar luar negeri bisa menjadi solusi dengan dukungan pemerintah.
Ia juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap pelaku usaha lokal dari persaingan dengan investor luar Bali. “Kami berharap pemerintah mampu melindungi peternak dan pemotong lokal agar tetap eksis,” imbuhnya.
Asosiasi Pemotong Babi Dukung Langkah Pemerintah
Ida Bagus Surya Prabhawa Manuaba, perwakilan asosiasi pemotong babi dan advokat, mengapresiasi upaya pemerintah yang telah memfasilitasi pertemuan ini. Ia juga meminta Dinas Pertanian untuk membantu legalisasi asosiasi Jagal Babi Bali yang sudah lama ada tetapi belum memiliki landasan hukum.
Kami berharap ada keputusan yang menguntungkan semua pihak, baik peternak, pemotong, maupun pengirim babi,” ujarnya.
Tantangan di Sektor Peternakan Babi
Ketua GUPBI Bali, I Ketut Hari Suyasa, mengungkapkan bahwa kelangkaan babi akibat serapan tinggi dari luar Bali, terutama Sulawesi yang terdampak wabah ASF, menjadi salah satu penyebab kenaikan harga. Ia juga mengingatkan bahwa permintaan akan semakin tinggi menjelang Natal, Tahun Baru, Imlek, dan Galungan, sehingga potensi kenaikan harga hingga Rp70 ribu per kilogram menjadi perhatian utama.
“Kami berharap ada standarisasi harga untuk menjaga stabilitas peternakan di Bali, sehingga peternak kecil dapat bangkit kembali seperti dulu,” jelasnya.
Langkah Ke Depan
Pertemuan ini belum menghasilkan keputusan final, namun akan dilanjutkan dengan diskusi mendalam untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Pemerintah diharapkan dapat menjadi penengah dan payung perlindungan bagi peternak, pemotong, dan pengirim babi lokal, serta mendorong pertumbuhan sektor peternakan sebagai pilar ekonomi Bali di luar pariwisata.(Ich)