DENPASAR – Tepuk tangan gemuruh memenuhi panggung Sri Wedari roof garden, Living World Mall, Denpasar, menyambut penampilan istimewa para murid Sanggar Musik Waktra dalam konser Waktra Serenade, Kamis (01/05/2025)
Di atas panggung, puluhan anak kolaborasi dari sanggar musik inklusi Waktra, Bali Choir dan SLBN3 Denpasar, dengan beragam latar belakang, termasuk disabilitas dan berkebutuhan khusus bersatu dalam satu misi: membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal yang melampaui batas.

“Di sini, tidak ada istilah ‘disabilitas’ atau ‘inklusi’. Yang ada hanya seni dan kebahagiaan bermusik,” ujar Ibu R. Wahyu Panca Wati, founder Waktra, dengan mata berbinar. Konser ini adalah bukti nyata dari filosofinya: panggung musik harus seperti taman bermain, tempat anak-anak belajar berani, fokus, dan merasakan kegembiraan tampil tanpa beban.
Setiap penampilan malam itu adalah cerita perjuangan. Anak-anak Down Syndrome yang kini mampu menyanyi dengan artikulasi jelas, anak Autis yang mulai berinteraksi lewat lagu, atau peserta non-disabilitas yang belajar empati—semua bersatu dalam harmoni.
“Target kami sederhana, agar mereka justru merindukan panggung, bukan takut,” tambah Wahyu.
Hasilnya? Sorot mata penasaran dan tanya “Kapan bisa naik panggung lagi?” dari para murid menjadi jawaban paling mengharukan, ungkap Wahyu.

“Inilah musik: mengubah ‘tidak bisa’ menjadi ‘lihat, aku bisa’!,” ucap Wahyu, tersenyum puas. Acara yang digagasnya bukan sekadar pertunjukan, tapi gerakan mengingatkan dunia bahwa setiap anak layak berdiri di bawah sorot lampu, dengan kepala tegak dan hati berbunga-bunga.
Kolaborasi apik antara sanggar musik Inklusi Waktra, SLBN 3 Denpasar, dan Bali Choir ini tidak hanya menghasilkan pertunjukan yang memukau, tetapi juga membuktikan kekuatan seni dalam menciptakan ruang inklusi.
Wakil Kepala SLBN 3 Denpasar, Ni Ketut Adi Parwati, menyebutkan bahwa latihan vokal tidak hanya melatih teknik bernyanyi, tetapi juga membantu anak-anak dengan gangguan bicara untuk lebih percaya diri dalam berkomunikasi.

“Anak-anak kami belajar artikulasi, pelafalan, dan cara mengekspresikan emosi melalui lagu. Mereka yang awalnya malu-malu, kini berani tampil di depan umum,” ujarnya. Bahkan pada malam itu, putrinya, Ocha, juga ikut tampil bersemangat dan percaya diri setelah mendalami vokal atas bimbingan ibu Wahyu, dimana sebelumnya hanya menyanyi secara informal.
Sementara itu Bali Choir, komunitas yang terdiri dari anak-anak dengan autisme, down syndrome, cerebral palsy, dan kebutuhan khusus lainnya telah menunjukkan perkembangan luar biasa sejak didirikan pada Juli 2023.

Ketua Pengurus Bali Choir, Evi Risni Herdiyani, bercerita bagaimana musik mengubah hidup anggotanya, “Anak saya, Lanang, dulu kesulitan berbicara dengan jelas dan kurang percaya diri. Sekarang, ia tidak hanya bisa menyanyi dengan nada yang tepat, tetapi juga berani mengikuti lomba dan memainkan alat musik seperti triangle,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Bukan hanya anak-anak yang tumbuh, para orang tua pun juga menemukan ruang dukungan. “Di sini, kami saling menguatkan, berbagi cerita, dan melihat anak-anak kami dihargai bukan karena keterbatasan, tapi karena karya mereka,” ujar Mega ibunda dari Deyu, salah satu peserta yang berkebutuhan khusus.
“Pertama kali tahu Deyu dinyatakan Down Syndrome, saya shock. Saat googling, malah stres karena informasi yang menakutkan,” kenang Mega. Namun, hasil skrining medis menunjukkan Deyu tak memiliki penyakit bawaan berat selain hipotiroid yang berhasil dikontrol hingga usia 9,5 tahun.

Kunci utama yang Mega pegang adalah membangun mental dan konsistensi terapi sejak Deyu berusia 3 bulan.
“Lihat sekarang anak saya bisa nyanyi dan baca puisi di depan ratusan orang!”, ujarnya bangga.
Putrinya, Deyu telah bergabung dengan Waktra semenjak 4 bulan lalu. Saat itu Wahyu, yang selektif dalam menerima murid, melihat potensi luar biasa dalam diri Deyu.
“Mereka menyimpan memori lebih dari yang kita kira. Kuncinya adalah stimulasi tanpa henti,” tambah Mega, yang sejak dulu aktif mengajak Deyu berkomunikasi meski ia belum bisa bicara. Kesabaran itu terbayar saat Deyu akhirnya bisa berbicara lancar dan mengekspresikan emosi melalui seni.

“Saat bu Wahyu bilang: ‘Deyu punya bakat’. Saya nangis. Itu pertama kali ada yang bilang anak saya bisa,” ujar Mega.
Kepada para orang tua lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus, Mega berpesan:
“Jangan gampang percaya stereotip negatif, karena sebenarnya anak Down Syndrome itu punya memori kuat, hanya mereka butuh cara berbeda,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
“Tetap lakukan terapi secara konsisten, kami 11 tahun tidak menyerah dan cari komunitas seperti Waktra, disini kami seperti menemukan keluarga kedua,” tambahnya dengan rasa syukur.
Usai konser, para orang tua berpelukan, murid-murid foto bersama dengan kebanggaan, dan tim Waktra bersyukur: malam ini, mereka tidak hanya menampilkan seni, tapi juga menebar harapan.
Musik tidak memandang keterbatasan. Ia hanya mengenal satu bahasa: cinta yang tulus dan Waktra Serenade 2025 telah membuktikannya. (Tim-08)