
DENPASAR – Dunianewsbali.com, Desa Wisata (Dewi) Penglipuran menegaskan komitmennya untuk melangkah lebih jauh dari sekadar pariwisata berkelanjutan dengan mengadopsi konsep pariwisata regeneratif. Pendekatan ini menempatkan pariwisata sebagai kekuatan yang tidak hanya menjaga, tetapi juga memperkuat alam, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat desa.
Selama ini, Penglipuran dikenal luas sebagai destinasi wisata yang bersih, rapi, asri, serta menarik secara visual. Namun, pengelola desa menilai bahwa keunggulan estetika semata tidak lagi cukup untuk menjawab tantangan pariwisata Bali ke depan yang kian kompleks dan dinamis.
Paparan tersebut disampaikan Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Wayan Sumiarsa, dalam forum diskusi dan silaturahmi bersama insan media yang digelar di Restaurant Bendega Renon, Denpasar, Sabtu, 13 Desember 2025. Ia menegaskan bahwa pesan “Desa Regeneratif” bukan sekadar slogan, melainkan menjadi kompas dalam setiap pengambilan keputusan pengelolaan desa wisata.

“Setiap kunjungan kami arahkan untuk menambah kebaikan, bukan sekadar tidak merusak. Dampaknya harus terasa bagi hutan bambu, struktur sosial dan adat desa, UMKM lokal, hingga generasi muda Penglipuran yang kami libatkan aktif dalam berbagai kegiatan,” ujar Wayan Sumiarsa.
Menurutnya, Penglipuran tidak ingin terjebak pada orientasi mengejar kuantitas wisatawan semata. Desa ini justru berupaya membangun ekosistem pariwisata yang sehat, di mana masyarakat lokal berdaya, alam tetap terjaga, dan nilai budaya menjadi fondasi utama pengembangan destinasi.

Arah tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang diprakarsai akademisi Universitas Udayana, Prof. I Nyoman Sunarta. Penelitian ini dilakukan atas kepedulian mendalam terhadap keberlanjutan Desa Wisata Penglipuran, dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan lintas sektor, termasuk pemerhati wisata Bali, Trisno Nugroho.
Prof. Sunarta menekankan bahwa pariwisata ideal di Penglipuran adalah pariwisata yang memastikan Undang-Undang Kepariwisataan beserta seluruh ekosistem pendukungnya berjalan secara selaras. Ia menilai, kepatuhan terhadap regulasi, tata kelola yang adil, serta keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan merupakan kunci agar pariwisata benar-benar memberi manfaat jangka panjang bagi desa dan masyarakatnya.
Komitmen pariwisata regeneratif tersebut diterjemahkan secara konkret melalui berbagai program dan agenda, khususnya menjelang akhir tahun 2025. Sejumlah kegiatan dirancang dengan prinsip regeneratif, di antaranya Parade Barong Macan, pertunjukan teatrikal Tetantria Macan Gading, penggunaan dekorasi bambu tanpa plastik sekali pakai, hingga kehadiran Bamboo Café yang mengedepankan produk-produk lokal.

Dalam konteks komunikasi publik, Penglipuran juga memandang penting penyampaian pesan “Desa Regeneratif” secara utuh kepada masyarakat luas. Desa ini ingin dikenal tidak hanya sebagai destinasi wisata, tetapi juga sebagai ruang healing yang bermakna, pusat ekonomi regeneratif, serta contoh nyata praktik wisata hijau berbasis kearifan lokal.
Selain itu, Penglipuran membuka ruang kolaborasi dengan media untuk mengembangkan materi edukasi berbasis data sosial, budaya, dan lingkungan. Bentuk kerja sama tersebut meliputi media visit tematik, media clinic untuk pendalaman konsep pariwisata regeneratif, hingga kolaborasi konten khusus seperti serial tulisan atau program video bertema Journey to Regeneration from Penglipuran.

Sebagai penutup rangkaian kegiatan, acara diskusi bersama insan media tersebut diakhiri dengan sesi foto bersama, dilanjutkan dengan makan malam bersama. Panitia juga menyiapkan pembagian door prize sebagai bentuk apresiasi kepada para insan media yang hadir.
Penglipuran optimistis dapat menjadi contoh bahwa pariwisata tidak harus mengorbankan jati diri. Dengan menempatkan masyarakat adat sebagai pusat pengembangan, desa ini berharap mampu menghadirkan pariwisata yang semakin lestari, menyejahterakan warga, serta memberi inspirasi bagi Indonesia dan dunia. (red)







