Oleh Prof. Dr. IB Raka Suardana, S.E., M.M. Dekan FEB Undiknas Denpasar
Indonesia saat ini tengah menghadapi situasi yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai stagflasi ringan (mild stagflation)—sebuah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi melambat, sementara inflasi tetap tinggi. Fenomena ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Triwulan I 2025, yang mencatat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,8%, menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,1%.
Di sisi lain, inflasi tahunan per Maret 2025 tercatat sebesar 3,5%, sedikit melampaui target tengah Bank Indonesia sebesar 2,5% ±1%. Tekanan inflasi ini sebagian besar disumbang oleh sektor pangan dan energi.
Secara teoritis, menurut Blanchard dan Johnson (2022), stagflasi ringan bisa dipicu oleh tekanan sisi pasokan—seperti gangguan distribusi, perubahan iklim, dan ketidakpastian geopolitik—yang menyebabkan kenaikan harga barang tanpa diiringi peningkatan permintaan. Di Indonesia, ketergantungan terhadap impor pangan dan gangguan iklim turut memperburuk produksi pangan domestik. Sementara itu, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, di tengah tekanan biaya hidup yang terus meningkat.
Kondisi ini diperparah oleh fenomena jobless growth, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja yang cukup. Tingkat pengangguran terbuka nasional masih berada di kisaran 5,6%, dengan mayoritas tenaga kerja baru terserap ke sektor informal. Ini menandakan bahwa distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi masih belum optimal.
Dalam analisisnya, Mankiw (2020) menyebut bahwa penanganan stagflasi memerlukan pendekatan kebijakan ganda—fiskal dan moneter—yang terkoordinasi. Namun, di tengah terbatasnya ruang fiskal dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, respons kebijakan menjadi lebih berhati-hati. Pemerintah telah berupaya menahan laju inflasi melalui subsidi pangan dan energi, sementara Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level 6,25% untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Lalu, bagaimana keluar dari kondisi ini? Dalam jangka pendek, stabilisasi harga pangan dan energi menjadi prioritas. Sementara dalam jangka panjang, transformasi ekonomi yang berorientasi pada peningkatan produktivitas dan ketahanan pangan menjadi kunci untuk keluar dari jebakan stagflasi.(***)