Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.
Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar
Pertumbuhan ekonomi sering dianggap sebagai indikator utama keberhasilan suatu negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, fenomena ini menyimpan paradoks yang kompleks. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan produksi barang dan jasa, yang seharusnya meningkatkan pendapatan serta taraf hidup masyarakat. Di sisi lain, pertumbuhan tersebut tidak selalu diiringi dengan pemerataan kesejahteraan, sehingga menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi.
Teori pertumbuhan ekonomi klasik, seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith, menekankan pentingnya pembagian kerja dan akumulasi modal sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi (Smith, 1776, dalam Suardana, 2021). Namun, teori ini cenderung mengabaikan aspek distribusi pendapatan. David Ricardo, seorang ekonom klasik lainnya, mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan distribusi pendapatan yang tidak merata, terutama antara pemilik tanah dan pekerja (Ricardo, 1817, dalam Suardana, 2022).
Pada tingkat makro, pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak selalu mencerminkan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Misalnya, meskipun Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 6% per tahun pada periode tertentu, manfaat pertumbuhan tersebut tidak dirasakan merata oleh seluruh masyarakat. Pembangunan yang terpusat di perkotaan sering kali mengabaikan wilayah pedesaan, sehingga menimbulkan ketimpangan regional (Validnews, 2020).
Selain itu, fenomena resource curse atau “kutukan sumber daya alam” menunjukkan bahwa negara-negara kaya sumber daya alam justru cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada ekspor komoditas dan kurangnya diversifikasi ekonomi, yang pada gilirannya dapat menghambat inovasi serta pembangunan sektor lain (Birokrat Menulis, 2021).
Paradoks pertumbuhan ekonomi juga terlihat pada tingkat mikro. Misalnya, peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan individu. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pernah melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% pada kuartal kedua tahun 2021. Namun, angka ini tidak mencerminkan kondisi nyata yang dialami masyarakat selama pandemi COVID-19, di mana banyak orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan mereka menurun (Kompasiana, 2021).
Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan pendekatan pembangunan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif, tetapi juga pada kualitas pertumbuhan tersebut. Ekonomi Pancasila, misalnya, menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan, sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial (Birokrat Menulis, 2021).
Dengan demikian, menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan tidaklah cukup. Perlu ada upaya untuk memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga paradoks pertumbuhan ekonomi dapat diminimalisir.(***)