DENPASAR – Pemerhati transportasi sekaligus pengguna setia layanan publik, Dyah Rooslina, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas keputusan Pemprov Bali menghentikan operasional Bus Transportasi Massal Bali (TMD). Ia menilai kebijakan ini mencerminkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap transportasi publik yang vital bagi masyarakat dan pariwisata Bali.
“Sebagai pengguna, saya sangat kecewa. Bus TMD ini sudah memberikan layanan yang baik, bersih, dan nyaman. Tapi, sayangnya, Pemprov Bali seolah tidak peduli. Mereka membiarkan transportasi publik mati tanpa ada usaha serius untuk mempertahankannya,” ujar Dyah dengan nada tegas, Sabtu (04/01/2025)
Dirinya menyoroti minimnya edukasi dari Pemprov Bali untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik. Menurutnya, pemerintah hanya meluncurkan program tanpa memikirkan keberlanjutan. “Masyarakat Bali tidak teredukasi dengan baik tentang pentingnya transportasi publik. Kalau bus terlihat kosong di siang hari, itu bukan berarti layanannya buruk, melainkan masyarakat tidak dipahamkan manfaatnya,” tambahnya.
Dyah juga mengkritik alokasi anggaran Pemprov Bali yang dinilainya tidak memprioritaskan transportasi publik. Ia menyoroti adanya pungutan wisatawan asing sebesar Rp150 ribu per orang sesuai Perda No. 6 Tahun 2023, yang kini telah menghasilkan Rp300 miliar. Namun, dana tersebut tidak digunakan untuk menyelamatkan TMD.
“Dana sebesar itu harusnya digunakan untuk mendukung operasional TMD. Apakah pemerintah tidak melihat potensi besar dari transportasi publik ini ? Kalau masalahnya subsidi, kenapa tidak ambil dari pungutan wisatawan, PKB, atau BBNKB ? Ini namanya pemerintah tidak punya komitmen,” ujarnya dengan nada kecewa.
Menurut Dyah, penghentian TMD bukan hanya kerugian bagi masyarakat lokal, tetapi juga bagi wisatawan yang membutuhkan transportasi publik yang aman dan nyaman. Transportasi publik seperti TMD, katanya, dapat menjadi solusi mengurangi kemacetan, polusi, dan memberikan pengalaman yang lebih baik bagi wisatawan.
“Wisatawan asing sering memuji kebersihan dan kenyamanan TMD, bahkan membandingkannya dengan kota lain di Indonesia. Tapi, apa gunanya kalau akhirnya dihentikan? Ini langkah mundur bagi Bali,” ungkap Dyah.
Dyah mendesak Pemprov Bali untuk segera mengevaluasi kebijakan transportasi publik. Ia berharap pemerintah tidak hanya fokus pada proyek-proyek besar, tetapi juga memikirkan kebutuhan mendasar masyarakat. “Transportasi publik itu investasi, bukan sekadar pengeluaran. Pemprov Bali harus segera bertindak, atau kepercayaan masyarakat akan hilang,” tegasnya.
Ia juga berharap pungutan wisatawan asing dapat dialokasikan untuk mendukung transportasi publik seperti TMD. “Jangan sampai dana besar yang dikumpulkan hanya jadi angka di laporan tanpa ada manfaat nyata untuk rakyat dan wisatawan,” tutupnya.(Tim-08)