GIANYAR – Seminar nasional yang bertajuk “Implementasi Undang-Undang No.1 Tahun 2022 dan Dampak Bagi Pelaku Usaha Spa” yang diselenggarakan oleh Bali Spa & Wellness Association (BSWA) di Royal Pita Maha Ubud Bali, Rabu (31/1/2024).
Seminar ini dihadiri oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI Bali), Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati atau yang kerap disapa Cok Ace, perwakilan Pj Gubernur Bali, Dinas Pariwisata, Akademisi Universitas Udayana, Asosiasi SPA, para pelaku usaha dan para undangan baik luring maupun daring
Seminar ini dilaksanakan menanggapi polemik dari diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) dengan tarif pajak untuk jasa hiburan tertentu yang merujuk pada Undang-Undang No.1 tahun 2022 Pasal 55 Ayat 1 Huruf L dan Pasal 58 Ayat 2.
Dalam pasal 55 dijelaskan bahwa mandi uap/SPA termasuk dalam jasa hiburan, dan pada pasal 58 ayat 2 dijelaskan bahwa Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk mandi uap dan spa ditetapkan pajak paling rendah sebesar 40% dan maksimal 75%.
Hal ini kontradiktif dengan Undang-Undang mengenai kepariwisataan Bab VI Pasal 14 ayat 1 huruf m dan Permenkes no 8 tahun 2014 yang menyatakan bahwa SPA termasuk usaha pariwisata dan berbasiskan kesehatan (Wellness) dengan menggunakan sarana air (Sante Par Aqua), bukan termasuk usaha hiburan.
Untuk itu usaha para pelaku usaha SPA mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menemukan titik temu, hal ini juga mendapat dukungan dari Pemerintah Bali.
Dalam kesempatan ini, Menparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno menyampaikan, bahwa Presiden telah merespon keresahan ini dan memberikan instruksi melalui Menteri Dalam Negeri, pada tanggal 19 Januari 2024, dengan telah diterbitkannya surat edaran Mendagri nomor 900.1.13.1 /403/ SJ sebagai acuan memberi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengeluarkan kebijakan insentif fiskal pajak hiburan, untuk mengenakan Pajak Barang Jasa.
Hal ini telah ditindaklanjuti oleh Pj Gubernur Bali dengan mengadakan pertemuan dengan seluruh Bupati dan Walikota pada tanggal 26 Januari 2024 dan menetapkan pengenaan PBJT di tiap-tiap daerah mengacu pada aturan insentif fiskal secara jabatan yang mana besaran pajaknya ditentukan oleh pemerintah Kabupaten dan Kota masing-masing dengan mengakomodasi aspirasi dari para pelaku usaha.
Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda), Dewa Made Indra yang hadir mewakili Pj Gubernur, saat menyampaikan sambutannya ke para peserta yang hadir.
“Pemerintah Bali juga mendukung dan berharap agar upaya pengajuan Judicial Review yang saat ini sedang berproses di MK, bisa memberikan hasil sesuai yang diharapkan bersama,” demikian disampaikannya.
Dalam kegiatan ini juga diadakan acara talk show yang menghadirkan nara sumber, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, A.Par., MM, Guru Besar Universitas Udayana Prof. Dr. Putu Gde Arya Sumertayasa, SH, MH, dan Kepala Divisi SPA and Wellness P.T Mustika Ratu, Dian V Soeryomurti.
Talk show ini juga menjadi kesempatan bagi para stakeholder untuk menyampaikan kekhawatiran mereka tentang perpajakan dan perlakuan terhadap industri SPA.
Salah satu momen krusial dalam seminar adalah ketika Ketua BSB (Bali Spa Bersatu) sekaligus sebagai Ketua Asosiasi ASPI (Asosiasi Spa Indonesia) Pusat bidang Pengembangan dan Penelitian SPA & Wellness Industri, I Gusti Ketut Jayeng Saputra, Cidesco menyampaikan pesan keadilan dan keselarasan, dengan penekanan kuat bahwa SPA bukanlah hiburan.
Pertanyaan yang diajukan oleh mereka dan tanggapan serentak dari peserta seminar dengan mengangkat tangan menyatakan setuju bahwa SPA bukan hiburan, menandakan sebuah kesatuan pandangan.
Ketua BSB mengajak pemerintah untuk memberi dukungan lebih pada UMKM industri SPA, dengan mengkategorikan SPA bukan sebagai hiburan, melainkan sejajar dengan sektor lain seperti hotel, restoran, refleksi, dan panti pijat.
Disampaikan juga penemuan dari team hukum Bali SPA Bersatu selama proses Judicial Review di MK memberikan penjelasan penting merujuk pada Asas ke-7 dari asas hukum Mahkamah Konstitusi.
Asas ini menyatakan bahwa sebuah tindakan dapat dinyatakan tidak sah baik oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum, artinya, dalam konteks ini, lembaga yang terkait dengan tagihan pajak atau lembaga lain yang berwenang harus menyatakan jika tindakan pajak 40% ini tidak sah
Pada kesempatan ini, Ketua BSB menyoroti pertanyaan penting dari salah satu anggotanya mengenai perbedaan penerapan aturan yang terjadi antara SPA di dalam hotel dan SPA mandiri.
Hal ini menegaskan perlunya pemerataan dalam pemberlakuan pajak serta proses pengawasan yang efektif.
Dirinya juga menekankan pentingnya kebijakan yang juga menguntungkan Day SPA yang berada di wilayah Gianyar dan Bali secara umum, bukan hanya SPA yang ada di dalam hotel saja.
BSB mengapresiasi tanggapan cepat pemerintah dalam membantu mengeluarkan kebijakan insentif fiskal dari jabatan, tetapi masih ada kekhawatiran mengenai bagaimana mereka dapat membayar pajak 40% saat ini tanpa kejelasan dalam penerapan dan penyesuaian harga di lapangan, untuk itu dimohonkan agar ada perlakuan yang sama antara Day SPA di luar hotel dengan SPA yang berada di dalam hotel.
Saat ini masih terjadi ketimpangan dalam pemberlakuan pajak, dimana SPA di dalam hotel dianggap sebagai fasilitas hotel dan dikenakan pajak sesuai tarif hotel, sedangkan Day SPA tetap dikenakan pajak 40% selama belum ada keputusan dari Pemerintah Daerah atau pengeluaran Peraturan Bupati yang relevan dalam proses transisi ini.
“Kami mendesak para pemangku jabatan di daerah untuk memberikan bantuan dan panduan lebih lanjut tentang bagaimana industri SPA mandiri, dalam hal ini adalah Day SPA yang berdiri di luar hotel agar dapat menyesuaikan dengan kebijakan pajak yang baru ini,” demikian harapannya.
Ketua BSWA, I Gede Nyoman Indra Prabawa, dalam kesempatan ini menyampaikan, BSWA sebagai asosiasi sepakat menyatakan SPA itu bukan hiburan dan menolak pengenaan UU no 1 tahun 2022 pasal 55 ayat 1 huruf L dan pasal 58 ayat 2 yang menempatkan SPA sebagai bagian dari jasa hiburan tertentu yang dikenakan PBJT 40 – 75%.
“Kami meminta selama proses pelaksanaan Judicial Review sedang berjalan, agar penerapan besaran pajak bisa dikembalikan ke UU yang lama, yaitu UU no 28 tahun 2009.
Untuk itu kami berjuang tidak hanya dari sisi Birokrasi dan Hukum, tetapi juga melalui sisi Akademisi seperti yang BSWA laksanakan hari ini,” demikian disampaikannya.(Van)