Beranda Ekonomi Perbedaan Data Kemiskinan Versi Bank Dunia dan BPS

Perbedaan Data Kemiskinan Versi Bank Dunia dan BPS

0

Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.   Dekan FEB Undiknas Denpasar

 

DENPASAR – Perbedaan mencolok antara data kemiskinan yang dirilis Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyoroti kompleksitas dalam mengukur kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Bank Dunia, dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, mencatat bahwa 60,3% penduduk Indonesia pada tahun 2024 hidup dengan pengeluaran kurang dari US$6,85 per kapita per hari (berdasarkan Purchasing Power Parity/PPP 2017), setara dengan sekitar Rp41.052 per hari. Dengan jumlah penduduk mencapai 285,1 juta jiwa, maka sekitar 171,9 juta orang masih tergolong miskin menurut standar negara berpendapatan menengah atas.

Sebaliknya, BPS melaporkan bahwa persentase penduduk miskin pada September 2024 sebesar 8,57%, turun 0,46 persen poin dibandingkan Maret 2024. Jumlah penduduk miskin berdasarkan data tersebut mencapai 24,06 juta orang.

Perbedaan ini muncul karena perbedaan metodologi dan standar garis kemiskinan yang digunakan. Bank Dunia menggunakan standar internasional berbasis PPP yang memungkinkan perbandingan antarnegara, sedangkan BPS menerapkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) yang disesuaikan dengan kondisi lokal.

Dalam teori ekonomi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep garis kemiskinan absolut dan relatif. Garis kemiskinan absolut menetapkan ambang batas tetap berdasarkan kebutuhan dasar minimum, sementara garis kemiskinan relatif mempertimbangkan distribusi pendapatan dan standar hidup masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan pendekatan ini menghasilkan estimasi kemiskinan yang berbeda, sebagaimana terlihat dalam data Bank Dunia dan BPS.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa meskipun angka kemiskinan ekstrem menurun, sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup di bawah standar layak menurut ukuran negara-negara berpendapatan menengah atas. Kondisi ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan secara menyeluruh.

Baca juga:  Dewan Pengupahan dan Penyelesaian Konflik Ketenagakerjaan

Faktor-faktor seperti ketimpangan pendapatan, akses terbatas terhadap layanan dasar, dan tingginya ketergantungan pada sektor informal turut memperburuk situasi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang komprehensif dan inklusif.

Langkah strategis meliputi peningkatan investasi di sektor pendidikan dan kesehatan, pembangunan infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, serta reformasi struktural guna memperkuat sektor formal dan menciptakan lapangan kerja berkualitas. Perluasan program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat juga menjadi kunci untuk mengurangi kerentanan dan mempercepat mobilitas keluar dari kemiskinan.

Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mempercepat pengurangan kemiskinan dan mewujudkan pembangunan yang adil dan merata bagi seluruh rakyatnya.(***)