Beranda Ekonomi Tekanan pada Indikator Makroekonomi

Tekanan pada Indikator Makroekonomi

0

Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.,  Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar

DENPASAR – Tekanan terhadap indikator makroekonomi nasional menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa gejala yang menonjol antara lain kecenderungan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus mengalami pelemahan, nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi, meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), serta menurunnya kinerja ekspor akibat pengenaan tarif tinggi oleh Amerika Serikat. Situasi ini semakin diperburuk oleh melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya ketegangan politik dalam negeri, terutama pasca disahkannya Undang-Undang TNI dan pembahasan RUU Kepolisian yang memicu polemik luas di kalangan masyarakat dan investor.

IHSG tercatat melemah tajam sepanjang triwulan pertama 2025. Data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa indeks telah terkoreksi lebih dari 7,5% sejak awal tahun, didorong oleh aksi jual investor asing serta pelemahan saham-saham di sektor perbankan, properti, dan konsumsi. Ketidakpastian politik dan lemahnya fundamental ekonomi menjadi pemicu utama sentimen negatif, diperparah oleh tekanan eksternal dari dinamika global.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pun tidak luput dari tekanan. Berdasarkan data Bank Indonesia per awal April 2025, kurs rupiah telah melemah hingga mencapai Rp16.350 per dolar AS. Depresiasi ini sebagian besar disebabkan oleh keluarnya dana asing dari pasar obligasi dan saham, serta ekspektasi kenaikan suku bunga global. Melemahnya rupiah memberikan dampak langsung terhadap harga barang impor, terutama bahan pangan dan energi, yang pada akhirnya menekan daya beli masyarakat secara luas.

Kondisi ini semakin kompleks dengan meningkatnya gelombang PHK di sektor manufaktur dan padat karya. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan bahwa sepanjang Januari hingga Maret 2025, lebih dari 160 ribu pekerja terpaksa dirumahkan akibat penurunan permintaan ekspor dan tingginya biaya operasional. Industri tekstil dan garmen menjadi sektor yang paling terdampak, mengingat ketergantungannya pada pasar ekspor, khususnya ke Amerika Serikat.

Baca juga:  Keluhan dan Beban Berat Peternak Babi di Bali, Serukan Peran Pemerintah Lebih Aktif

Tekanan terhadap konsumsi domestik juga kian memburuk. Survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen mengalami penurunan selama dua bulan berturut-turut, dari 124 pada Januari menjadi 109 pada Maret 2025. Inflasi yang tinggi serta stagnasi pendapatan riil menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga, yang selama ini merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Situasi kian pelik dengan meningkatnya tensi politik dalam negeri. Disahkannya Undang-Undang TNI yang memperluas peran militer dalam kehidupan sipil, serta pembahasan RUU Kepolisian yang dianggap dapat mengaburkan batas profesionalisme aparat, menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa dan organisasi sipil. Ketidakpastian hukum dan potensi konflik horizontal menciptakan iklim investasi yang semakin tidak kondusif. Banyak pelaku usaha memilih bersikap wait and see, menunda ekspansi, dan menahan proses rekrutmen.

Menghadapi tekanan multidimensi ini, pemerintah perlu bertindak cepat dan terukur. Stabilitas makroekonomi harus dijaga melalui sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang terkoordinasi. Bank Indonesia perlu menjaga kredibilitasnya dengan memastikan inflasi tetap dalam target serta melakukan intervensi yang bijak demi kestabilan rupiah. Dari sisi fiskal, pemerintah perlu mendorong stimulus pada sektor-sektor strategis, khususnya yang padat karya dan berorientasi ekspor. Selain itu, perluasan pasar ekspor ke negara-negara nontradisional seperti India, Timur Tengah, dan Afrika harus segera dipercepat guna menekan ketergantungan terhadap pasar Amerika.

Di ranah sosial-politik, diperlukan komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan mampu membangun kepercayaan. Dialog nasional antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil sangat penting untuk meredakan ketegangan dan mencegah polarisasi lebih lanjut. Bagi masyarakat, strategi bertahan dapat dilakukan melalui penguatan ekonomi lokal, kolaborasi komunitas, serta peningkatan keterampilan digital dan kewirausahaan.

Baca juga:  Cabai Melejit, Rakyat Menjerit

Pemulihan ekonomi membutuhkan stabilitas, kepercayaan, dan kolaborasi dari seluruh elemen bangsa. Tanpa itu, tekanan terhadap indikator makroekonomi hanya akan menjadi awal dari krisis yang lebih mendalam.(***)